Menguak Biang Kerok Harga Tiket Pesawat RI Termahal Kedua di Dunia
Pemerintah tengah memutar otak untuk menurunkan harga tiket pesawat. Isu ini mencuat berawal dari keluhan masyarakat ihwal mahalnya ongkos transportasi udara.
Pasalnya, harga tiket pesawat yang dijual sejumlah maskapai hampir tak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Maklum, harga tiket pesawat terbang selama beberapa waktu terakhir..
Contoh paling sederhana, harga tiket pesawat rute Jakarta-Surabaya di akhir pekan berkisar Rp949 ribu-Rp1,55 juta. Sementara harga tiket rute Jakarta-Denpasar, juga di akhir pekan, berkisar antara Rp873 ribu-Rp1,87 juta.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN DENGAN KONTEN
Mulanya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap harga tiket pesawat Indonesia menjadi termahal kedua di dunia, hanya kalah dari Brasil. Bahkan, di negara Asean harga tiket pesawat dalam negeri paling mahal.
“Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dan negara berpenduduk tinggi, harga tiket penerbangan Indonesia jadi yang termahal kedua setelah Brasil,” ujar dia dalam unggahan di Instagram resmi pada Kamis (11/7) silam.
Karenanya, Luhut menilai pemerintah harus mencari cara untuk menurunkan harga tiket pesawat dengan cara mengevaluasi komponen pembentuk harga.
Komponen pembentuk harga yang akan dievaluasi paling awal adalah Price In line with Block Hour (CBH) karena porsinya paling besar dalam membentuk tarif. Ia menilai perlu diidentifikasi kembali rincian pembentuknya.
“Kita juga merumuskan strategi untuk mengurangi nilai CBH tersebut, berdasarkan jenis pesawat dan layanan penerbangan,” kata Luhut.
Selain itu, pemerintah juga berencana untuk mengakselerasi kebijakan pembebasan bea masuk dan pembukaan Lartas barang impor tertentu. Sebab, untuk kebutuhan penerbangan porsi perawatannya mencapai 16 persen.
Luhut juga akan mengevaluasi mekanisme pengenaan tarif berdasarkan sektor rute yang berimplikasi pada pengenaan dua kali tarif PPN, Iuran Wajib Jasa Raharja (IWJR), dan Passenger Carrier Rate (PSC), bagi penumpang yang melakukan switch/ganti pesawat.
“Mekanisme perhitungan tarif perlu disesuaikan berdasarkan biaya operasional maskapai in line with jam terbang, yang akan berdampak signifikan mengurangi beban biaya pada tiket penerbangan,” imbuhnya.
Evaluasi juga dilakukan pada kontribusi pendapatan kargo terhadap pemasukan perusahaan. Hal ini diharapkan bisa menjadi pertimbangan dalam menentukan harga Tarif Batas Atas.
Di samping itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengungkap pemerintah telah membentuk satuan tugas (satgas) penurunan harga tiket pesawat sebagai upaya menciptakan harga tiket yang lebih efisien di Indonesia.
“Itu sudah diadakan rapat koordinasinya, dan sudah diperintahkan ada sembilan langkah ke depan, termasuk pembentukan satgas untuk penurunan (harga) tiket pesawat,” ujar Sandiaga usai acara Highway to: Run For Independence Day 2024 di Kawasan GBK, Jakarta, Minggu, dikutip dari Di antara.
Satgas tersebut terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dan kementerian/lembaga (Okay/L) terkait lainnya.
Dalam kesempatan itu, Sandi juga menuturkan bahan bakar avtur bukan satu-satunya penyebab mahalnya harga tiket pesawat di dalam negeri. Namun, terdapat aspek lain seperti beban pajak hingga beban biaya operasional.
“Jadi, itu semua akan dikaji dan akan dipastikan bahwa industri penerbangan kita efisien, seperti industri penerbangan di luar negeri,” ujar dia.
Terbaru, Kementerian Perhubungan melalui Badan Kebijakan Transportasi (BKT) bersama Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dan stakeholder terkait melakukan kajian soal harga tiket pesawat. Hasilnya, ada empat rekomendasi yang diberikan kepada pemerintah agar tiket pesawat lebih murah dari saat ini.
Adapun harga tiket yang dibayarkan masyarakat terdiri dari komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi, dan biaya tuslah/tambahan (surcharge).
“Hasil dari kajian dan diskusi mendalam dengan para pemangku kepentingan, terdapat rekomendasi kebijakan jangka pendek dan jangka panjang yang harus diambil untuk menurunkan harga tiket pesawat. Kebijakan ini harus diambil secara lintas sektoral, tidak hanya oleh Kementerian Perhubungan sendiri,” ujar Kepala BKT Robby Kurniawan melalui keterangan, Senin (5/8).
Rekomendasi jangka pendek lebih banyak terkait dengan komponen yang dapat dikendalikan oleh pemerintah. Sedangkan jangka menengah hingga panjang adalah dengan melakukan peninjauan kembali terhadap Tarif Batas Bawah (TBB) dan Tarif Batas Atas (TBA).
Empat rekomendasi jangka pendek dari hasil kajian yang dilakukan termasuk:
Pertama, memberi insentif fiskal terhadap biaya avtur, suku cadang pesawat udara, serta subsidi dari penyedia jasa bandar udara terhadap biaya pelayanan jasa pendaratan, penempatan dan penyimpanan pesawat udara (PJP4U), floor dealing with throughput rate, subsidi/insentif terhadap biaya operasi langsung, seperti pajak biaya bahan bakar minyak dan pajak biaya suku cadang dalam rangka biaya overhaul atau pemeliharaan.
Kedua, penghapusan pajak tiket untuk pesawat udara sehingga tercipta equivalent remedy (kesetaraan perlakuan) dengan moda transportasi lainnya yang telah dihapuskan pajaknya, berdasarkan PMK Nomor 80/PMK.03/2012.
Usulan ini pun telah disetujui oleh Sandiaga. Menurutnya, salah satu penyumbang harga tiket pesawat yang mahal adalah pungutan pajaknya.
Ketiga, menghilangkan konstanta dalam components perhitungan avtur. Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2019 tentang Components Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Avtur yang Disalurkan Melalui Depot Pengisian Pesawat Udara.
Keempat, melaksanakan usulan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengajukan sistem multi penyedia (tidak monopoli) untuk provide avtur. Terkait dengan hal ini Kemenhub telah menulis surat kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi berisi saran dan pertimbangan tentang multi supplier BBM penerbangan.
Sementara itu, untuk jangka menengah hingga jangka panjang dapat dilakukan dengan meninjau kembali formulasi TBA yang berlaku saat ini. Hal ini karena adanya perubahan kondisi pasar yang perlu diakomodir dengan baik, khususnya komponen biaya operasi langsung maupun tidak langsung, yang berdampak pada keselamatan penerbangan dan keberlanjutan layanan transportasi udara.
Bersambung ke halaman berikutnya…