Sri Mulyani Bahas Goal Tax Ratio 11,8 Persen
Jakarta, CNN Indonesia –
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani membahas peluang mengerek goal rasio pajak (rasio pajak) 2025 ke 11,8 persen, jika mengacu kriteria Group for Financial Cooperation and Building (OECD).
Airlangga mengakui ada pembahasan soal rasio pajak dalam pertemuannya dengan Sri Mulyani di Istana Kepresidenan pada Kamis (20/3). Namun, ia tak secara gamblang menjelaskan apa isi kesepakatan pemerintah.
“Kemarin (rapat di Istana Kepresidenan dengan Menkeu Sri Mulyani) kita lihat optimalisasi dari berbagai sektor,” ucapnya di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat (21/3).
IKLAN
Gulir untuk melanjutkan konten
“(Goal rasio pajak) tergantung juga kriteria. Kalau (mengacu) dengan OECD standards, angkanya (tax ratio) lebih tinggi, (menjadi) 11,8 persen,” sambung Airlangga.
Kendati, Menko Airlangga belum menegaskan apakah Pemerintah Indonesia bakal menggunakan usual OECD dalam menetapkan goal rasio pajak tahun ini.
Jika mengacu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, rasio pajak alias rasio penerimaan perpajakan Indonesia tahun lalu baru menyentuh 10,07 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sementara, goal awal rasio pajak di 2025 sebesar 10,24 persen.
Lalu, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menargetkan rasio pajak Indonesia bisa naik lagi ke stage 11,52 persen-15 persen di 2029.
Prabowo juga masih kukuh membentuk Badan Penerimaan Negara pada periode kepemimpinannya. Salah satu tujuannya adalah mengerek rasio pajak.
“Menyorot intervensi dari mendirikan Badan Penerimaan Negara dan meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap PDB ke 23 persen,” tulis dokumen RPJMN 2025-2029.
“Salah satu kunci untuk meningkatkan ruang fiskal memadai adalah peningkatan pendapatan negara. Studi komparatif dengan beberapa negara memperlihatkan bahwa untuk menjadi negara maju, dukungan fiskal melalui peningkatan pendapatan negara sangat diperlukan, baik dari sisi penerimaan perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak,” klaim pemerintah.
Pria yang juga ketua umum Partai Gerindra itu menyebut rendahnya penerimaan negara saat ini imbas kesenjangan dalam aspek administrasi maupun kebijakan. Ia menganggap perlu transformasi tata kelola kelembagaan sebagai enabler untuk menggenjot pendapatan.
Coretax menjadi ujung tombak utama. Namun, Prabowo menegaskan kehadiran sistem perpajakan canggih mesti diiringi dengan pembenahan tata kelola kelembagaan.
(SKT/SFR)