Mencari Akar Masalah Pendanaan Proyek EBT Tak Menarik Buat Financial institution




Jakarta, CNN Indonesia

Upaya mendorong bertambahnya proyek-proyek baru energi baru dan terbarukan (EBT) diduga berjalan lambat akibat sulitnya mendapat pendanaan.

Laporan Kementerian ESDM menunjukkan, dari goal 2,6 miliar dolar AS investasi EBT pada 2024, hanya bisa dipenuhi 1,5 miliar dolar. Meski tren menunjukkan kenaikan, tahun-tahun sebelumnya goal juga gagal dicapai karena ciutnya minat perbankan mendanai proyek EBT.

IKLAN

Gulir untuk melanjutkan konten

Kalangan perbankan di Indonesia dinilai bersikap Mengingkari risiko (menghindari risiko) ketika mendanai proyek EBT.

Padahal, salah satu ciri proyek ini adalah membutuhkan investasi besar di awal dengan waktu balik modal yang lama. Kinerjanya pun sering dipengaruhi alam, faktor yang memang langsung terkait risiko. Arus kas proyek juga kerap dianggap tak stabil, apalagi jika tarif listrik yang dibanderol terlalu rendah, sehingga tak mencerminkan risiko dan biaya yang dikeluarkan pengembang.



Dalam perjanjian jual beli listrik pengembang terhadap PLN (Perjanjian Daya Pembelian/PPA), pengembang diikat dengan kontrak tahunan (Energi kontrak tahunan/ACE). Dalam kasus pembangkut listrik tenaga bayu, misalnya, situasi ini dianggap tidak supreme.

“Masalahnya, angin di Indonesia sifatnya musiman dan fluktuatif. Bisa jadi tahun ini optimum, tahun depan malah turun drastis. Kalo ACE dihitung setiap tahun, pengembang bisa kena penalti kalau goal produksinya tidak terpenuhi, meskipun itu disebabkan kondisi alam yang di luar kendali mereka,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Energi Angin Indonesia (AEAI) Lucila Ismoyo Rukmi.

AEBI mengusulkan ACE dihitung 5-6 tahunan agar fluktuasi alam bisa dihitung lebih proporsional.

“Dengan pendekatan ini, proyek tidak langsung dianggap gagal cuma karena satu tahun anginnya sedang tidak optimum. Pengembang juga tidak harus waspada setiap tahun, sementara perbankan juga lebih tenang karena goal produksi dinilai secara rata-rata dalam 5-6 tahun,” kata perempuan yang akrab dipanggil Maya ini.

Pendanaan ke pengembang skala kecil

Salah satu financial institution nasional yang memimpin pendanaan proyek EBT adalah Financial institution Mandiri. Kepada CNN IndonesiaWakil Dirut Alexandra Askandar menyampaikan terjadi peningkatan signifikan dalam penyaluran kredit Mandiri untuk proyek EBT.

“Hingga Desember 2024, Financial institution Mandiri telah menyalurkan Rp11,8 triliun untuk proyek-proyek energi baru dan terbarukan, meningkat secara signifikan sebesar 21% dibandingkan tahun sebelumnya. Penyaluran ini didominasi oleh proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan pemanfaatan biodiesel,” Alexandra menjawab pertanyaan secara tertulis.

Mandiri menurutnya akan melanjutkan tren investasi EBTKE di tahun 2025.

Direktur lembaga pemerhati kebijakan transisi energi IESR, Fabby Tumiwa, menyebut jumlah ini jauh dari cukup. Menurutnya financial institution BUMN juga lebih memilih proyek besar milik perusahaan BUMN lainnya.

“Sementara pengembang EBT banyak di luar Jawa dan (skalanya) kecil-kecil. Kalau mau (transisi) cepat, ini yang harus masif didanai,” tukas Fabby.

Mengutip laporan tren pembiayaan energi terbarukan Bloomberg (BNEF) 2025, Fabby mengatakan laju investasi EBT di negara Asia Tenggara rata-rata mencapai 30%. Posisi Indonesia masih berada di bawah rata-rata ini akibat minimnya minat perbankan.

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Perbankan Nasional (Perbanas), Taswin Zakaria membantah.

“Pembiayaan EBT di Indonesia masih minim karena kurangnya proyek/obyek pembiayaan yang bisa dilakukan secara skala ekonomis dan secara Teknologi terbukti. Perbankan adalah penyedia utang, bukan penyedia modal ekuitas dengan profil risiko yang tak terbatas,” kata Taswin kepada CNN Indonesia melalui aplikasi tukar pesan.

Proyek EBT menurut Taswin kerap dikembangkan dengan teknologi baru dan bahkan eksperimental, sementara skala produksinya terbatas. Profil risiko ini dianggap tak sesuai untuk perbankan.

Meski demikian, menurut Taswin, jika aplikasi EBT bisa dikembangkan langsung pada konsumen prospeknya jadi lebih menarik.

“Proyek EBT seperti sun panel, angin, dan turbin air dengan skala ekonomis masih sangat kurang. Skema pemanfaatan sun panel untuk perumahan retail yang terjangkau misalnya, dapat dikembangkan PLN seperti di banyak negara tetangga,” tambah Taswin.

Adaptasi tarif

Lebih dari dua tahun lalu, pemerintah menerbitkan Perpres 112/2022 yang mengatur tentang percepatan pengembangan EBT untuk penyediaan tenaga listrik. Termasuk di dalamnya adalah mekanisme penetapan harga beli listrik PLN dari pengembang.

Jika diterapkan konsisten, perhitungan pembelian harga ini dianggap sudah cukup mendorong iklim investasi baru EBT.

“Namun, kenyataannya, penerapannya masih belum selalu mengacu pada patokan tersebut. Tanpa menyebut nama dan lokasi, ada proyek EBT yang sudah mendapat kontrak dengan PLN melalui pihak swasta, tetapi tetap sulit berjalan karena dianggap tidak bankable. Penyebab utamanya, kembali lagi, harga jual listrik yang belum cukup menarik bagi perbankan,’ kata Lucila Ismoyo Rukmi.

Fabby Tumiwa malah mengusulkan pengubahan Perpres 112/2022 karena tak sesuai lagi. Menurutnya tarif tersebut disusun sejak 2019, sehingga ketika disahkan tiga tahun kemudian, asumsi dasarnya sudah tak berlaku.

“Sudah nggak sesuai. Technology 2021 kan suku bunga financial institution tinggi. Opsi investasi EBT yang dianggap berisiko makin nggak menarik kalau harga listriknya nggak menarik buat perbankan,” tambah Fabby.

Kesulitan memacu tumbuhnya proyek-proyek baru EBT ini akan sangat berdampak pada capaian produksi listrik baru EBT. Akibatnya goal bauran energi terbarukan sebesar 23% tahun ini, diperkirakan akan kembali gagal dicapai.

(VWS/VWS)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *