Perlukah Sri Mulyani Pungut Pajak dari Pedagang Shopee Dkk?
Menteri Keuangan Sri Mulyani akan mengambil pajak dari pedagang di platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, TikTok Store, dan sejenisnya.
Melansir Reuterspajak yang dikenakan sebesar 0,5 persen dari overall pendapatan penjual, dengan sasaran para pelaku usaha yang memiliki omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar.
Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menyamakan perlakuan antara pedagang di toko bold dengan toko fisik. Rencana pemajakan itu akan dituangkan dalam peraturan baru yang akan diterbitkan secepatnya bulan depan.
IKLAN
Gulir untuk melanjutkan konten
Pajak pelapak nantinya harus dikumpulkan oleh platform e-commerce.
Salah satu sumber yang mengetahui rencana pengenaan pajak itu mengatakan bahwa selain mengatur pemotongan, beleid baru itu juga akan mengatur pengenaan denda bagi platform e-commerce yang tak memungut dan telat melaporkan tugas pemungutan pajak bagi pelapak mereka.
E-commerce pun buka suara soal kebijakan itu. Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) meminta pemerintah berhati-hati mewajibkan e-commerce menarik pajak kepada para pedagang on-line.
“Dari sisi asosiasi, idEA mendorong agar kebijakan ini diterapkan secara hati-hati dan bertahap, dengan mempertimbangkan kesiapan para pelaku UMKM, kesiapan infrastruktur baik di sisi platform maupun pemerintah, serta pentingnya sosialisasi yang luas dan komprehensif kepada masyarakat,” ujar Budi melalui keterangan tertulis, Rabu (25/6).
Budi hanya memberi catatan agar pemerintah mempertimbangkan dampak kebijakan ini terhadap jutaan pedagang. Asosiasi berharap ruang tumbuh bagi pelaku usaha kecil dan menengah tidak terhambat dengan penerapan aturan ini.
“Karena itu, penting bagi kami sebagai ekosistem untuk memastikan kesiapan sistem, dukungan teknis, serta komunikasi yang memadai kepada para penjual,” ucapnya.
Lantas tepatkah rencana pemerintah memungut pajak dari pedagang di market?
Ekonom Heart of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai pemerintah tampaknya memang berupaya menciptakan keadilan fiskal.
Pasalnya banyak pelaku usaha konvensional merasa dirugikan karena mereka tunduk pada kewajiban pajak, sedangkan sejumlah besar pedagang on-line terutama skala kecil masih belum terjangkau oleh aturan yang sama.
Ketimpangan ini, sambungnya, berisiko menciptakan persaingan yang tidak sehat. Karena itu, kebijakan pengenaan pajak bisa dipandang sebagai langkah logis untuk menyamakan kedudukan.
Namun di sisi lain, Yusuf mencemaskan nasib pelaku usaha kecil, khususnya UMKM yang sedang merintis usahanya di ranah virtual.
“Jika beban pajak ini diterapkan secara kaku dan tanpa mempertimbangkan skala usaha, bisa jadi justru menghambat pertumbuhan sektor yang sedang berkembang ini,” katanya kepada Cnnindonesia.com.
Yusuf menilai kebijakan pungutan ini membawa berbagai keuntungan dan kerugian bagi seluruh pihak yang terlibat. Bagi pemerintah, keuntungan utama tentu berupa peningkatan penerimaan negara dari sektor ekonomi virtual yang nilainya terus meningkat.
Pendapatan ini bisa dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan, pendidikan, dan layanan publik lainnya. Selain itu, kesetaraan antara pelaku usaha konvensional dan virtual bisa tercipta.
“Namun demikian, tantangannya juga tidak kecil. Memantau jutaan transaksi virtual, termasuk yang lintas negara dan bersifat anonim, memerlukan sistem yang canggih dan koordinasi yang baik. Tanpa sosialisasi yang menyeluruh dan pendekatan yang inklusif, risiko resistensi dan kegagalan implementasi cukup tinggi,” terangnya.
Bersambung ke halaman berikutnya…