Alasan Menkes Kukuh Hapus Sistem Kelas BPJS: Melanggar Prinsip Sosial
Jakarta, CNN Indonesia –
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin kukuh menghapus sistem kelas BPJS Kesehatan melalui penerapan kelas rawat inap standar (KERIS).
Dengan begitu, fasilitas BPJS Kesehatan bagi setiap peserta akan sama.
Budi beralasan BPJS Kesehatan adalah asuransi sosial yang memegang prinsip gotong royong. Orang yang mampu mensubsidi orang yang tidak mampu. Keberadaan sistem kelas menurutnya melanggar prinsip sosial soal kesetaraan.
“Jadi kita akan hilangkan definisi kelas. Karena kelas itu stigmatized. Kelas itu membedakan antara orang yang tak mampu kelas 3, orang yang mampu kelas 1. Itu menurut saya melanggar prinsip sosial yang equality. Harusnya kelasnya sama. Samanya mana, yaitu KRIS tadi,” katanya dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR, Senin (26/5).
IKLAN
Gulir untuk melanjutkan konten
“Maksudnya prinsip gotong royong, maksudnya prinsip subsidi adalah orang yang bayar tinggi itu harusnya sama dengan orang yang enggak bayar tinggi,” sambungnya.
Budi mengatakan BPJS Kesehatan sama konsepnya dengan pajak, di mana orang yang bayar pajak tinggi pun mendapatkan hak yang sama dengan yang bayar pajak lebih rendah.
“Sama seperti pajak, kita bayar pajak berapa pun, hak kita untuk dapat jalan, hak kita untuk akses taman, hak kita dapat fasilitas dari negara, itu sama,” sambungnya.
Budi mengatakan BPJS Kesehatan memang sering disalahartikan oleh pihak yang menganggap bahwa dengan membayar iuran lebih tinggi maka akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik. Padahal, hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip asuransi sosial.
“Sehingga memang dalam perjalanannya ini udah kadung, kita ada yang bayar lebih tinggi, mintanya kelas lebih tinggi. Itu sebabnya kita secara bertahap meluncurkan KRIS,” katanya.
Budi mengatakan dengan KRIS, fasilitas BPJS Kesehatan akan sama. Bukan hanya soal jumlah tempat tidur dalam satu kamar, tapi juga fasilitas lainnya seperti kamar mandi.
Ia mengatakan dengan KRIS, kamar mandi nantinya akan berada di dalam kamar tidur setiap pasien, tanpa memandang iuran yang mereka bayarkan.
“Kita inginnya semua orang berhak dong kamar mandinya di dalam (kamar). Jangan hanya orang-orang tertentu saja yang berhak kamar mandinya di dalam, yang miskin di luar. Menurut saya itu enggak adil,” katanya.
Budi mengatakan memang pelayanan yang merata tersebut masih menjadi perdebatan, terutama bagi peserta yang kelasnya lebih tinggi seperti pekerja formal, kemudian harus turun dengan berlakunya KRIS.
Namun, Budi mengatakan pihaknya berupaya menyiapkan solusi agar mereka merasa pelayanan yang diberikan tidak berkurang.
“Gimana caranya, itu yang harus kita pikirkan sama-sama. Tapi bahwa ada perbedaan fasilitas berdasarkan iuran yang dibayarkan, itu konsep asuransi komersial,” katanya.
“Jadi masalah yang pertama adalah orang yang bayar lebih, sebagian pekerja formal, yang dulu dapat kelas lebih bagus, kita mesti pikirin tuh gimana kalau bisa dia jangan turun. Gitu kan? Supaya enggak ada persepsi bahwa kita memberikan yang jelek,” sambungnya.
(FBY/PTA)