Semu di Balik Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen yang Disyukuri Jokowi
Ekonomi Indonesia tetap tumbuh di kisaran 5 persen selama beberapa tahun terakhir, saat perekonomian global terguncang di tengah ketidakpastian.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia tumbuh 5,05 persen pada kuartal II 2024 secara tahunan (yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan kuartal II 2023, yang sebesar 5,17 Persen.
Sementara pada kuartal I 2024, pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 5,11 persen (yoy). Angka ini lebih tinggi dibandingkan kuartal I 2023, yang sebesar 5,04 persen.
Presiden Jokowi bersyukur pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menurutnya masih stabil, padahal kondisi perekonomian world sedang tidak baik-baik saja.
“Alhamdulillah ini patut kita syukuri, ekonomi dan politik Indonesia sangat stabil. Ekonomi tetap tumbuh di atas 5 persen. Kita tahu di kuartal I 2024, tumbuh 5,11 persen,” kata Jokowi di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Senin (8/7) lalu.
Di tengah pertumbuhan ekonomi yang disebut Jokowi baik tersebut, ada masalah lain yang mengintai Indonesia, termasuk maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan masih tingginya angka kemiskinan.
Badai PHK menggila terutama di Jakarta. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat PHK menimpa 32.064 tenaga kerja selama enam bulan pertama di 2024.
Mayoritas kasus PHK terjadi di Jakarta yang mencapai 7.469 orang. PHK lainnya juga terpusat di Pulau Jawa. Ada di Banten dengan 6.135 orang kehilangan pekerjaan, 5.155 pekerja di Jawa Barat di-PHK, dan kasus di Jawa Tengah yang menimpa 4.275 karyawan.
Pemutusan hubungan kerja yang cukup banyak juga terjadi di luar Jawa. Misalnya, ada 1.812 orang di Sulawesi Tengah yang harus kehilangan pekerjaannya hingga Juni 2024.
Lantas mengapa saat pertumbuhan ekonomi diklaim stabil tetapi marak terjadi PHK?
Analis Senior Indonesia Strategic and Financial Motion Establishment Ronny P Sasmita mengatakan pertumbuhan ekonomi 5 persen sebenarnya tidak tergolong tinggi. Bahkan angka itu terbilang sangat standar jika dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Jepang, Korea Selatan (Korsel), Taiwan, dan China, di saat negara-negara tersebut sedang di fase keluar dari jebakan negara berpendapatan rendah dan menengah.
Jepang dan China, sambungnya, pernah mencatatkan pertumbuhan 9 persen hingga 10 persen selama satu dekade. Sedangkan Taiwan dan Korsel pernah mencatatkan pertumbuhan ekonomi 8 persen sampai 9 persen selama satu dekade lebih.
“Bahkan dibanding raihan Orde Baru (orba) saja, angka tersebut masih terbilang biasa, di mana rata-rata angka pertumbuhan di generation orba sekitar 6 persenan. Setahun jelang krisis 1997 saja, angka pertumbuhan Indonesia tercatat sekitar 6,8 persen,” katanya kepada CNNIndonesia.com.
Ia mengatakan angka 5 persen terasa tinggi secara komparatif, karena negara-negara di dunia juga mencatat angka pertumbuhan yang rendah pasca-krisis finansial 2008, atau terjebak di dalam fase ‘secular stagnatio’.
Istilah itu diperkenalkan Ekonom Alvin Hansen pada 1938, di mana Amerika Serikat (AS) dinilai telah kehilangan sumber-sumber pertumbuhan ekonominya. Istilah itu digunakan kembali oleh mantan Menteri Keuangan AS Larry Summer season setelah krisis finansial 2008 lalu.
Pertumbuhan ekonomi 5 persen, sambung Ronny, juga tidak didukung oleh kualitas pertumbuhan yang baik, di mana sektor pendorongnya bukan lagi sektor padat karya seperti manufaktur, tetapi kini ditopang sektor padat modal seperti infrastruktur, pertambangan, jasa, ekonomi virtual, dan sektor investasi portofolio (keuangan).
“Sehingga ILOR atau Incremental Labour Output Ratio kita terbilang cukup rendah. ILOR adalah tingkat serapan tenaga kerja consistent with satu persen pertumbuhan ekonomi,” katanya.