Jakarta, CNN Indonesia –
Ide nekat pemerintah mengerek tarif ojek on-line (ojol) sampai 15 persen diyakini sejumlah pihak justru akan menjadi kesalahan ceroboh itu berbahaya.
Wacana kenaikan tarif ojol 15 persen diutarakan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Aan Suhanan. Menurutnya, rencana ini sudah memasuki kajian tahap akhir. Aturan baru akan meluncur dalam waktu dekat.
“Kami sudah melakukan pengkajian dan sudah ultimate untuk perubahan tarif, terutama roda dua, itu ada beberapa kenaikan. Bervariasi, kenaikan yang disebut ada 15 persen, ada 8 persen, tergantung dari zona yang kita tentukan,” kata Aan dalam Rapat Kerja dengan Komisi V DPR RI di Jakarta Pusat, Senin (30/6).
IKLAN
Gulir untuk melanjutkan konten
“Pada prinsipnya, kenaikan tarif ini sudah disetujui oleh aplikator. Namun, untuk memastikan, kami akan panggil aplikator terkait dengan kenaikan tarif ini,” jelasnya.
Tarif ojek on-line saat ini dibagi ke dalam 3 zona, mengacu pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564/2022. Dengan kata lain, tarif tersebut tidak berubah selama 3 tahun terakhir.
Zona I mengatur tarif ojol di Sumatra, Jawa (selain Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), dan Bali. Tarif di zona ini adalah Rp1.850 sampai Rp2.300 consistent with kilometer.
Zona II mencakup Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Tarifnya adalah Rp2.600 hingga 2.700 consistent with kilometer. Sedangkan Zona III meliputi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan sekitarnya, serta Maluku dan Papua. Tarif di zona ini dipatok sebesar Rp2.100-2.600 untuk setiap kilometer.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai kenaikan tarif ojol bukan solusi tepat dalam kondisi daya beli masyarakat seperti sekarang. Menurutnya, nominal tarif yang tinggi justru akan mengerek inflasi.
“Di tengah lemahnya daya beli, kemudian juga masyarakat sebenarnya punya alternatif dengan Transjakarta. Jangan sampai nanti kenaikan tarif itu malah kontraproduktif sehingga justru pekerja ojol akan berkurang ordernya, kemudian malah jadi terpuruk. Jadi, kenaikan tarif itu bukan solusi. Penumpang akan menjadi korban,” jelasnya kepada Cnnindonesia.com.
Menurutnya, kenaikan tarif bukan opsi yang bijak untuk memperbaiki kesejahteraan pengemudi. Pemerintah seharusnya fokus memangkas potongan aplikator yang tembus 20 persen. Di lain sisi, pembagiannya juga kerap diprotes karena dianggap merugikan driving force.
Timboel menuntut ketegasan negara untuk memastikan keadilan pendapatan yang diterima para ojol. Ia menilai pemerintah sebenarnya mampu untuk menurunkan potongan aplikator, bahkan sampai ke degree 10 persen.
“Ini memang bagian dari ketidakseriusan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan. Memang selama ini pemerintah itu lemah terhadap aplikator, yang saya harapkan pemerintah mengeluarkan regulasi sebagai regulator itu harus berani, tegas terhadap regulasinya,” ucap Timboel.
“Terkait dengan intervensi potongan, ya itu sebenarnya sebagai regulator harus berani. Jadi, pemerintah harus tegas terhadap persoalan ojol ini dan memang itu yang menjadi solusi,” sambungnya.
Jika pemerintah nekat mengerek tarif ojol, sejumlah bahaya mengintai di depan mata, antara lain order driving force akan berkurang, pendapatan negara melalui pajak transaksi on-line bakal amblas, dan pengangguran Indonesia diramal meningkat.
“Yang penting sekarang adalah bukan menaikkan tarif, tapi melindungi (driving force ojol) karena pemerintah adalah regulator yang mengatur, bukan diatur. Yang memang punya kewenangan dari sisi regulasi dan dari sisi anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja ojol,” tandasnya.
Pengamat Ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak menegaskan masalah utama yang harus diselesaikan pemerintah adalah standing atau pola hubungan kerja ojol. Ini penting untuk memetakan apa saja hak dan kewajiban ojol.
Misalnya, jika hubungan kerja driving force dan aplikator tetap sebagai mitra, maka pemerintah bisa mempertegas hak dan kewajiban ojol, termasuk persentase pembagian sewa yang dibayarkan penumpang.
Jika pola hubungan kerja yang disepakati adalah pengusaha dan pekerja, maka aplikator diharuskan membayar iuran BPJS sampai memberikan tunjangan hari raya (THR).
“Kebijakan menaikkan tarif ojol 15 persen tidak menyelesaikan masalah di atas. Untuk sementara, terkesan penghasilan pengemudi akan meningkat dan keuntungan supplier juga meningkat,” komentar Payaman.
“Tuntutan peningkatan tarif bisa berlangsung setiap tahun. Akibatnya, masyarakat jenuh terhadap ojol dan memutuskan pindah ke sarana transportasi yang lain,” ungkapnya soal bahaya kenaikan tarif ojol.
Peneliti Institute for Demographic and Affluence Research (IDEAS) Muhammad Anwar mencoba menyimulasikan kenaikan tarif tersebut. Ia menekankan dampak positif yang akan dikantongi driving force tetap kecil, terlebih ada lonjakan harga kebutuhan pokok, biaya operasional kendaraan, sampai beban hidup lainnya.
Anwar berasumsi pengemudi ojek on-line menyelesaikan rata-rata 10 commute consistent with hari, dengan jarak 5 kilometer (km) consistent with perjalanan, berarti overall jarak tempuh harian pengemudi mencapai 50 km.
“Jika menggunakan asumsi tarif dasar sebelum kenaikan sebesar Rp2.500 consistent with km, maka pendapatan kotor harian pengemudi adalah Rp125 ribu. Namun, dengan adanya potongan 20 persen dari aplikator, penghasilan bersih yang dibawa pulang pengemudi hanya sekitar Rp100 ribu consistent with hari,” hitungan Anwar.
“Ketika pemerintah berencana menaikkan tarif ojol sebesar 8 persen-15 persen, maka tarif consistent with km akan naik menjadi sekitar Rp2.700 hingga Rp2.875. Jika dihitung ulang dengan jarak tempuh yang sama (50 km), pendapatan kotor harian akan meningkat menjadi Rp135 ribu pada skenario kenaikan 8 persen dan Rp143.750 pada kenaikan 15 persen. Setelah dipotong 20 persen oleh aplikator, maka pengemudi akan membawa pulang sekitar Rp108 ribu-Rp115 ribu consistent with hari,” jelasnya.
Dengan kata lain, pendapatan bersih harian pengemudi ojol cuma naik antara Rp8.000 hingga Rp15 ribu. Anwar menilai manfaat kenaikan tarif tersebut jelas tidak terasa signifikan karena potongan 20 persen tetap tidak dihapus.
Pihak yang diuntungkan dalam skenario kenaikan tarif ojol adalah aplikator. Perusahaan seperti Gojek, Seize, sampai Maxim otomatis kecipratan cuan tambahan berkat ide pemerintah. Misalnya, dari overall pendapatan kotor Rp135 ribu consistent with hari saat tarif naik 8 persen, aplikator langsung meraup Rp27 ribu hanya dari potongan 1 driving force.
“Lebih jauh lagi, kebijakan kenaikan tarif ini justru bisa dilihat sebagai pengalihan tekanan dari aplikator ke konsumen, tanpa menyentuh akar tuntutan pengemudi yang sejak lama meminta penurunan potongan komisi, sistem insentif yang transparan, serta perlindungan kerja layaknya sektor formal,” tutur Anwar.
“Kenaikan tarif ojol jelas akan menambah beban penumpang, terutama mereka yang bergantung pada layanan ini setiap hari untuk mobilitas kerja, sekolah, atau keperluan keluarga. Namun, di tengah kondisi transportasi publik yang belum memadai, belum nyaman, dan belum menjangkau banyak kawasan permukiman, pilihan masyarakat khususnya para pekerja perkotaan masih sangat terbatas,” tambahnya.
Urgensi kenaikan dan berapa tarif ojol yang best?
Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti Aloysius Uwiyono menilai kenaikan tarif ojol sampai 15 persen sebenarnya sah-sah saja. Apalagi, niatnya untuk meningkatkan penghasilan para driving force. Ia juga yakin kenaikan tarif tak berpengaruh signifikan ke kantong konsumen.
“Kenaikan tarif ojol sebesar 15 persen saya anggap wajar untuk meningkatkan penghasilan para ojol. Meskipun menurut saya masih belum meningkatkan kesejahteraan mereka, paling tidak penghasilan mereka meningkat lebih baik,” ungkap Aloysius.
Ia menyoroti sulitnya pemerintah mengintervensi potongan aplikator. Hubungan antara aplikator dengan pengemudi ojol memang masih dalam ranah privat. Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa ikut campur lebih jauh.
“Mereka (driving force ojol) tidak memiliki hubungan kerja sebagai pekerja. Oleh karena itu, pemerintah bertindak sebagai mediator yang memediasi terhadap penentuan kenaikan tarif ojol. Kenaikan ini harus disetujui aplikator dan pengemudi ojol,” tuturnya.
“Solusi ini merupakan solusi berdasarkan ‘win-win resolution’. Di satu sisi, ada peningkatan penghasilan bagi pengemudi ojol. Dari segi perusahaan, tidak merugi. Jadi, bukan solusi asal-asalan,” tegas Aloysius.
[Gambas:Photo CNN]
Direktur Ekonomi Heart of Financial and Legislation Research (Celios) Nailul Huda juga mendukung niat pemerintah. Ia mengingatkan tarif ojol sudah 3 tahun tidak naik.
Huda menyebut para mitra dituntut untuk memenuhi kebutuhan dasarnya di tengah sejumlah kenaikan harga. Ia menganggap kenaikan tarif layanan menjadi salah satu opsi untuk mengakomodir kebutuhan para driving force. Ia bahkan menilai kenaikan tarif ojol mestinya dilakukan berkala, misalnya secara tahunan.
“Pemerintah melakukan kajian. Bukan hanya untuk menentukan besaran kenaikan tarif, namun juga formulasi kenaikannya. Jadi, ada formulasi baku untuk dijadikan panduan menentukan tarif tiap tahun. Components tersebut minimum menyertakan inflasi dan pertumbuhan sektoral sebagai variabel pembentuk pertumbuhan tarif,” sarannya kepada pemerintah.
“Dengan adanya formulasi tersebut, kenaikan tarif tahun ini bisa disesuaikan. Jika berkaca kepada inflasi 2025 yang ditargetkan mencapai 2,5 persen dan pertumbuhan ekonomi di angka 4,8 persen, kenaikan (tarif ojol) bisa di angka 7,3 persen,” perhitungan Huda.
Ia mengamini bahwa masyarakat pasti akan terbebani. Akan tetapi, protes tersebut bisa diminimalisir jika kenaikannya dilakukan secara tahunan. Huda menegaskan bahwa harga-harga barang lainnya juga mengalami kenaikan.
“Potensi untuk mengurangi permintaan akan ada dari penumpang jikalau kenaikannya di luar batas kewajaran dan tidak ada penjelasan secara ilmiah. Namun, jika kenaikannya bisa dijelaskan oleh metode ilmiah dan tidak terlampau tinggi, saya rasa penumpang dapat menerima dengan baik,” tutupnya.
[Gambas:Video CNN]