90 Persen Bahan Pangan di Indonesia Timur Dijual di Atas Harga Eceran
Jakarta, CNN Indonesia –
Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat lonjakan harga pangan penting dari beras, telur, minyak hingga daging ayam di wilayah Indonesia Timur kian mengkhawatirkan.
Berdasarkan hasil pantauan Panel Harga Pangan, sekitar 90 persen komoditas pangan utama di wilayah tersebut dijual di atas harga eceran tertinggi (HET) atau harga acuan penjualan (HAP) pemerintah.
Komoditas yang dimaksud antara lain beras top rate, beras medium, beras SPHP, jagung peternak, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabai merah, cabai rawit, daging ayam ras, telur ayam ras, minyak goreng, hingga gula konsumsi.
IKLAN
Gulir untuk melanjutkan konten
Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Bapanas I Gusti Ketut Astawa menyatakan hampir semua harga di Indonesia Timur berada di atas batas harga yang ditetapkan pemerintah. Situasi ini, menurutnya, telah berulang kali menjadi sorotan dalam rapat koordinasi pengendalian inflasi nasional.
“Hampir semua harga di atas harga acuan yang kita tetapkan. Ini tantangan kami. Dan selalu kami di-challenge oleh Pak Mendagri (Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian), kok naik terus ya?‘ Ini beliau yang suka men-challenge kami,” ujar Ketut dalam Rapat Koordinasi Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Wilayah Indonesia Timur di Bapanas, Jakarta Selatan, Jumat (16/5).
Berdasarkan information yang dipaparkan, Papua tercatat sebagai daerah dengan harga beras top rate tertinggi secara nasional, yakni Rp17.882 in line with kilogram (kg), jauh di atas HET yang ditetapkan sebesar Rp15.800 in line with kg.
Selain beras, harga cabai rawit di wilayah Papua juga mencapai Rp97.619 in line with kg, sedangkan daging sapi mencapai Rp148.889 in line with kg.
Di Papua Tengah, harga cabai merah keriting bahkan tembus Rp85.909 in line with kg, sedangkan telur ayam ras di Papua Selatan menyentuh Rp50.813 in line with kg, padahal HET-nya hanya Rp30 ribu in line with kg.
Selain itu, minyak goreng curah di Papua Barat dijual Rp20 ribu in line with liter, lebih tinggi dari HET sebesar Rp15.700 in line with liter.
Ketut menambahkan kondisi ini tidak cukup diselesaikan lewat rapat bold atau komunikasi jarak jauh. Oleh karena itu, Bapanas mengundang langsung para kepala daerah, petani, peternak, serta pelaku usaha untuk berdiskusi bersama dan mencari solusi jangka menengah.
Ia juga mengusulkan mekanisme trade matching antara pemerintah daerah dengan pelaku usaha pangan untuk mempercepat distribusi dan menekan ongkos logistik ke wilayah timur.
“Jadi ini sebenarnya trade matching tujuannya awalnya. Sehingga Bapak-Ibu bisa berkolaborasi,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Papua Haris Manuputty menyampaikan keluhan terkait keterbatasan pasokan beras SPHP dan minyak goreng merek Minyakita ke wilayah Papua.
Menurutnya, stok yang dikirim tidak sebanding dengan kebutuhan masyarakat, terutama di tengah daya beli yang melemah.
“Papua perlu untuk beras Bulog khusus SPHP. Sekarang ekonomi sedang lesu, daya beli turun, tapi barang ini berlimpah. Tapi SPHP kami hanya dijatah 10 ton. Padahal kami minta 20 ton, seminggu habis,” ujarnya.
Haris juga menyoroti persoalan ongkos kirim. Meski pengusaha mengambil beras SPHP langsung ke gudang Bulog dengan kendaraan sendiri, mereka tetap dikenakan biaya distribusi tambahan.
“Kami muat sendiri, tim kami sendiri, tapi tetap kena ongkir. Ini yang perlu diperbaiki,” katanya.
Selain beras, ia juga menyoroti distribusi Minyakita yang terbatas di Papua. Menurutnya, aturan harga yang tidak sesuai dengan biaya pembelian membuat pengusaha ragu untuk kembali mengambil pasokan karena risiko kerugian.
“Minyakita kami beli Rp15.700, tapi disuruh jual dengan harga sama. Kami pernah rugi karena punya 10 ribu karton. Sekarang disuruh masuk lagi, kami takut. Papua cuma perlu barang. Harga bisa kami atur, asal jangan ketinggian,” tutur dia.
(OF/PTA)