Kenapa Rupiah Bisa Babak Belur ke Degree Terendah Sejak Krismon?
Nilai Ubah rupiah terpuruk ke degree Rp16.611 in keeping with dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Selasa (25/3). Nilai ini tercatat terendah sejak 1998 yang pernah tembus Rp16.800 in keeping with dolar AS.
Bahkan, di tengah perdagangan kemarin, sekitar pukul 10.00 WIB, rupiah sempat berada di degree Rp16.635 in keeping with dolar AS.
Kondisi ini terjadi setelah sebelumnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga anjlok hingga hampir 7 persen sehingga perdagangan sempat dihentikan sementara.
IKLAN
Gulir untuk melanjutkan konten
Apabila melihat ke belakang, posisi rupiah kali ini juga mengalahkan saat pandemi covid-19 melanda, kala itu mata uang Garuda hanya anjlok ke degree Rp16.550 in keeping with dolar AS. Padahal, tidak ada hal tak terduga seperti pandemi yang menghampiri Tanah Air.
Analis Mata Uang Doo Monetary Futures Lukman Leong mengatakan sentimen yang mendorong rupiah makin terpuruk berasal dari dalam dan luar negeri.
Dari luar negeri, rupiah dibebani oleh knowledge perekonomian AS yang baru saja dirilis seperti PMI Jasa yang ternyata lebih tinggi dari perkiraan. Lalu, ada juga peningkatan permintaan dolar AS jelang libur panjang sehingga terjadi ‘surprise’ di pasar keuangan.
“Pidato FOMC member Bostic yang hawkish juga turut memberikan tekanan pada rupiah,” kata Lukman kepada Cnnindonesia.com.
Sentimen luar negeri, kata Lukman tidak hanya mempengaruhi rupiah, tetapi juga mata uang negara Asia lainnya. Kendati, Indonesia memang lebih tertekan karena situasi dalam negeri yang tidak stabil imbas kinerja APBN yang mengecewakan.
“Mata uang regional juga melemah, namun rupiah khususnya sentimen domestik juga masih jelek terutama kekhawatiran fiskal pemerintah,” kata Lukman.
Berdasarkan knowledge Kementerian Keuangan, kinerja APBN hingga akhir Februari 2025 memang mengkhawatirkan, di mana pendapatan negara baru tercapai Rp316,9 triliun atau 10,5 persen dari goal tahun ini sebesar Rp3.005,1 triliun.
Di sisi lain, belanja negara negara terealisasi sebesar Rp348,1 triliun, atau 9,7 persen dari goal tahun ini sebesar Rp3.621,3 triliun.
Dengan kondisi pendapatan lebih rendah dari belanja, maka APBN tercatat mengalami defisit Rp31,2 triliun atau 0,13 persen dari produk domestik bruto (PDB). Beda dengan tahun lalu yang pada periode yang sama justru surplus.
Sementara, Presiden Direktur PT Doo Monetary Futures Ariston Tjendra melihat ada tiga biang kerok yang mempengaruhi pelemahan rupiah.
Pertama, kekhawatiran pasar soal perang dagang yang dipicu oleh kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump terhadap berbagai negara.
Terbaru, Trump mengancam bakal mengenakan tarif 25 persen kepada negara manapun yang membeli minyak dari Venezuela. Sebab, Negeri Paman Sam itu mengklaim Venezuela itu sengaja mengirim penjahat ke negaranya dan menjadi AS sebagai musuh.
“Perang dagang ini bisa memicu penurunan perdagangan world sehingga perekonomian world menurun,” kata Ariston.
Kedua, konflik perang di Timur Tengah dan di Ukraina-Rusia yang tampaknya belum ada tanda-tanda selesai. Bahkan, setelah Trump berusaha untuk mendorong kesepakatan perdamaian dengan mempertemukan Vladimir Putin dan Volodymyr Zelenskyy, namun gagal.
“Belum lagi konflik perang di Timur Tengah yang masih tensinya masih tinggi, ditambah perang Ukraina Rusia yang belum juga bisa didamaikan,” jelasnya.
Ketigakondisi rupiah tentu tidak bisa lepas dari situasi dalam negeri. Sama dengan Lukman, Ariston melihat kebijakan pemerintah membuat masyarakat meragukan kondisi perekonomian di dalam negeri.
Apalagi, daya beli masyarakat yang rendah sejak tahun lalu masih belum pulih.
“Pesimisme pasar terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia juga menambah tekanan ke rupiah,” terangnya.
Bersambung ke halaman berikutnya…