KKP Tuding Perbankan Alergi Danai Budidaya Perikanan




Jakarta, CNN Indonesia

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menuding perbankan di Indonesia masih alergi untuk mendanai sektor budidaya perikanan.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Tb Haeru Rahayu menyebut lembaga keuangan cenderung menghindari pendanaan di sektor ini karena dianggap berisiko tinggi.

“Perbankan di kita masih cukup alergi masuk ke dalam dunia budidaya. Garam sudah semakin membaik saya kira. Kenapa? Karena fluktuasi, prime chance, dan sebagainya, ini tantangan,” ujar Haeru dalam acara CNBC Indonesia Meals Summit 2025 di St Regis Jakarta, Kamis (20/3).

IKLAN

Gulir untuk melanjutkan konten

“Kami sudah banyak diskusi dengan teman-teman BNI, BRI, BTN bahkan termasuk Mandiri, ‘tolong dong ada keberpihakan kepada kami lagi’. Tapi dia juga tantangan kepada, ‘perbaiki dong SOP-nya supaya kami punya keyakinan untuk bisa menggelontorkan dananya kepada budidaya’,” imbuhnya.



Ia menilai kendala pendanaan ini menjadi salah satu hambatan utama dalam pengembangan perikanan budidaya di Tanah Air. Padahal, sektor ini dinilai semakin penting mengingat meningkatnya kebutuhan pangan seiring pertumbuhan populasi.

Haeru menyebut kebijakan pengembangan budidaya, baik di darat, laut, maupun pesisir, merupakan bagian dari upaya menjaga ketersediaan ikan tanpa bergantung pada perikanan tangkap yang memiliki keterbatasan.

“Kenapa mesti budidaya? Karena tantangan di depan jumlah populasi manusia semakin meningkat. Kita enggak mungkin lagi meskipun konservasinya bagus, biodiversitasnya meningkat, ikannya ditangkapin semuanya, enggak mungkin,” tutur Haeru.

“Jadi mau enggak mau, kebijakan pengembangan perikanan budidaya baik di darat, di laut, atau di pesisir. Tapi mesti dalam konteks sustainabilitas. Ini yang menjadi persoalan di budidaya saat ini,” jelasnya.

Saat ini, KKP memiliki goal pengembangan lima komoditas utama dalam perikanan budidaya, yaitu udang, rumput laut, nila salin, kepiting, dan lobster. Haeru mengatakan teknologi dan pasar untuk komoditas ini sudah berkembang, namun tantangan keberlanjutan dan infrastruktur masih perlu diatasi.

Salah satu tantangan yang dihadapi adalah lokasi budidaya yang tersebar di berbagai tempat tanpa manajemen terpadu. Selain itu, sistem perizinan yang tersebar di 548 kabupaten/kota dinilai mempengaruhi perkembangan sektor ini.

Haeru juga mencatat mayoritas budidaya udang masih dilakukan secara tradisional, yaitu 82 persen, sementara hanya 3 persen yang berskala intensif.

Menurutnya, faktor lain yang menjadi kendala adalah biaya pakan yang tinggi, yang mencapai 60 persen-70 persen dari general biaya produksi. Kondisi ini menyebabkan margin keuntungan bagi pembudidaya sangat kecil, sementara di sisi lain, intermediary atau perantara justru mendapatkan margin yang lebih besar.

Sebagai solusi, Haeru menilai perlu ada intervensi pemerintah dalam aspek permodalan. Ia menyebut regulasi saja tidak cukup, melainkan perlu ada fashion pembiayaan yang bisa diterapkan untuk mendukung keberlanjutan sektor perikanan budidaya.

“Solusinya gimana? Solusinya adalah mesti executive intervention fashion, jadi ada fashion intervensi dari pemerintah. Tidak hanya NSPK saja, tapi nampaknya mesti ada ATM, kita kasih contoh dulu,” pungkasnya.

[Gambas:Video CNN]

(dari/sfr)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *