Membaca Maksud dan Dampak Imbauan Prabowo soal Bonus Hari Raya Ojol



Jakarta, CNN Indonesia

Presiden Prabowo Subianto akhirnya tampil sebagai ‘pahlawan’ untuk memastikan ada Bonus Hari Raya bagi driving force ojek on-line (ojol) pada Lebaran tahun ini.

Diperjuangkan sejak 2023, para pencari nafkah di jalanan itu luput dari nikmat tambahan uang tunai pada dua kali momen Lebaran. Standing mitra membuat driving force ojol tak berhak dapat THR pada 2023, begitu pula di 2024 ketika Kementerian Ketenagakerjaan tak cukup nyali untuk memastikan seluruhnya diberikan dalam bentuk money.

Aplikator kala itu tampak lebih senang mempertahankan skema insentif sebagai substitusi THR. Walau sudah ada imbauan pemberian THR bagi driving force ojol di 2024, standing mitra masih mengganjal.

IKLAN

Gulir untuk melanjutkan konten

Baru tahun ini pemerintah berani ‘memaksa’ pengusaha platform, terutama usai puluhan driving force menggeruduk Kemnaker pada 17 Februari 2025. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli dan Wamenekar Immanuel Ebenezer bergantian mengultimatum aplikator untuk membayarkan ‘hak’ mitra pengemudi.



Wamenaker Immanuel Ebenezer alias Noel bahkan sampai naik ke mobil komando bersama perwakilan ojol untuk mengatakan, “Negara adalah sifatnya memaksa”.

Menaker Yassierli pada 5 Maret 2025 lalu juga menegaskan bahwa negara bisa memaksakan THR ojol sepihak, tapi tetap memilih mengedepankan conversation dengan aplikator.

Puncak perjuangan driving force adalah saat CEO GoTo Patrick Walujo dan CEO Grasp Anthony Tan merapat ke Istana Negara bersama perwakilan mitra untuk mendengar langsung pernyataan Presiden Prabowo soal BHR. Namun, diksi ‘memaksa’ hilang dan berubah menjadi ‘mengimbau’.

“Pada tahun ini, pemerintah menaruh perhatian khusus kepada para pengemudi (ojol) dan kurir on-line yang telah memberi kontribusi penting dalam mendukung layanan transportasi dan logistik di Indonesia,” katanya dalam Konferensi Pers di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (10/3).

“Untuk itu, pemerintah mengimbau kepada seluruh perusahaan layanan angkutan berbasis aplikasi untuk memberi bonus hari raya kepada pengemudi dan kurir on-line dalam bentuk uang tunai dengan mempertimbangkan keaktifan kerja,” imbau Prabowo.

Sang Kepala Negara merinci sekarang ada sekitar 250 ribu pengemudi ojol dan kurir aktif. Di lain sisi, ada 1 juta-1,5 juta mitra lainnya berstatus section time.

Prabowo tak merinci berapa nominal bonus yang pantas, begitu pula dengan mekanisme dan aturannya. Ia menegaskan teknisnya akan dirundingkan Menaker Yassierli bersama aplikator, lalu diumumkan melalui surat edaran.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty sepakat dengan istilah ‘mengimbau’ yang dipakai Prabowo. Menurutnya, kata-kata ‘memaksa’ tidak pas karena bonus hari raya mesti disesuaikan dengan kemampuan perusahaan.

Telisa tak memungkiri THR sudah mengakar sebagai budaya bangsa Indonesia. Kendati demikian, driving force ojol yang sampai sekarang masih berstatus mitra tak mengenal istilah tunjangan.

“Kalau menurut saya, ini memang idealnya dibicarakan secara kekeluargaan. Perusahaan kan harus bikin making plans ya dari sisi kesiapan dana dan sebagainya. Jadi, memang sebaiknya itu dibicarakan (dan) dibikin plan yang baik,” ucapnya kepada Cnnindonesia.com.

“Pengusaha masih reachable (memberi bonus), tapi juga tetap ada kepentingan dari driver-driver ojol ini supaya mereka diperhatikan kesejahteraannya. Dari konsep non secular sendiri kan kalau kita memberikan berkah dan rezeki, itu kan untuk perusahaan juga lebih berkah lagi,” sambung Telisa.

Akan tetapi, Telisa tak punya angka saklek berapa uang tunai yang harus diberikan Gojek dan Grasp ke masing-masing driving force. Ia menekankan yang terpenting adalah mencapai titik tengah dari kedua pihak. Pemerintah perlu hadir sebagai fasilitator atau penengah.

Ia berharap apa yang dilakukan Prabowo Cs tetap berupa imbauan, bukan paksaan kepada aplikator. Telisa mendorong win-win resolution dalam permasalahan bonus hari raya untuk ojol. Telisa berkali-kali menggarisbawahi pentingnya memperhatikan kesiapan perusahaan platform aplikasi dalam menjalankan imbauan Prabowo.

“Narasi-narasi memaksa itu khawatir bisa menimbulkan persepsi pasar bahwa sekarang bukan berdasarkan mekanisme pasar, tapi pemerintah lebih banyak intervensi. Nanti kita jadi terkesan bukan lagi marketplace demokrasi ekonomi, tapi jadi kayak ekonomi yang terlalu sentralistis … Takutnya nanti ini buat investor juga tidak bagus,” wanti-wanti Telisa.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *