Beda dengan Boomers, Intip Cara Beramal ala Gen Z dan Milenial Tajir
Jakarta, CNN Indonesia —
Generasi milenial dan generasi Z tajir mengubah cara bersedekah atau filantropi yang benar-benar berbeda dari gaya menyumbang orang tua mereka.
Kelompok muda kaya raya ini tak mau sekadar beramal dengan menyumbang uang, mereka juga terlibat aktif dalam aktivitas sosial dan lingkungan.
Menurut studi terbaru dari Financial institution of The usa Non-public Financial institution, generasi di bawah 43 tahun ini lebih cenderung menjadi aktivis sosial yang terlibat langsung dalam masalah-masalah yang mereka dukung, dibandingkan sekedar menjadi donatur pasif.
Survei yang melibatkan lebih dari 1.000 responden dengan kekayaan investasi di atas US$3 juta atau senilai dengan Rp46,7 miliar (kurs Rp15.600 in step with dolar AS) mengungkapkan kaum muda kaya raya ini lebih suka melakukan kerja sukarela, menggalang dana, hingga menjadi mentor bagi organisasi yang mereka dukung.
Riset itu juga menyimpulkan gen Z dan milenial menginginkan pengakuan publik atas kontribusi sosial yang mereka berikan, dibandingkan dengan generasi sebelumnya, seperti generasi X dan boomers.
Menurut hasil survei, generasi muda ini mendefinisikan ulang filantropi dengan pendekatan yang lebih mendalam dan berkelanjutan. Mereka terlibat jauh dalam upaya mengatasi masalah-masalah sosial besar, seperti perubahan iklim, tunawisma, dan kesetaraan gender.
“Mereka melihat diri mereka sebagai agen perubahan sosial yang holistik.Generasi ini benar-benar ingin menggerakkan modal mereka secara komprehensif untuk mencapai tujuan dampak sosial mereka.” ujar Dianne Chipps Bailey, Direktur Strategi Filantropi Nasional di Financial institution of The usa Non-public Financial institution dikutip Bisnis CNN.
Menurut survei tersebut, 91 persen dari responden telah menyumbangkan sebagian kekayaan mereka dalam satu tahun terakhir. Namun, alih-alih hanya menulis cek, generasi muda ini lebih tertarik untuk terlihat dalam berbagai cara seperti bekerja di lapangan, mengumpulkan dana, hingga duduk di dewan nirlaba.
“Generasi ini lebih cenderung untuk menggabungkan waktu, bakat, kesaksian, dan jaringan sosial mereka, dibandingkan hanya menyumbang uang,” jelas Bailey.
Laporan itu juga menunjukkan adanya perbedaan motivasi antara generasi muda dan tua dalam beramal. Generasi di atas 44 tahun cenderung berderma karena rasa tanggung jawab dan kewajiban. Sementara itu, kaum milenial dan Gen Z lebih terdorong oleh pendidikan diri dan pengaruh lingkaran sosial mereka.
“Mereka lebih terpengaruh dengan apa yang terjadi di sekitar mereka. Di tahun 2020, dengan segala krisis yang muncul, mereka tidak hanya berempati, tapi mengambil tindakan nyata untuk perubahan,” tambah Bailey.
Generasi muda kaya ini juga mendukung isu-isu sosial yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka dua kali lebih mungkin mendukung isu-isu seperti perubahan iklim, keadilan sosial, dan kemajuan perempuan. Sedangkan generasi yang lebih tua lebih cenderung mendukung organisasi keagamaan, seni, dan amal militer.
Tren menarik lainnya yang terlihat dari survei ini adalah bagaimana generasi muda lebih menyukai pengakuan publik atas kontribusi mereka. Hampir setengah dari mereka ingin mengaitkan nama mereka dengan kegiatan filantropi, berbeda dengan generasi tua yang lebih memilih beramal secara anonim.
“Mereka lebih memperhatikan dampak langsung dari tindakan mereka dan ingin hal tersebut diakui. Penting bagi kita untuk memuji mereka, merayakan kontribusi mereka, dan memberi visibilitas atas dampak sosial yang mereka buat,” ujar Bailey.
Dalam menghadapi masa depan filantropi, penasihat keuangan dan organisasi nirlaba harus menyesuaikan pendekatan mereka. Mengingat generasi muda ini akan diwarisi lebih dari US$80 triliun atau setara dengan Rp124 ribu triliun kekayaan dalam beberapa dekade ke depan, keterlibatan mereka dalam amal bukan hanya soal uang, tetapi juga aktivisme dan jaringan sosial.
“Generasi ini ingin berbicara tentang filantropi bahkan sebelum membicarakan rencana investasi mereka. Mereka memiliki hasrat yang besar untuk belajar lebih banyak tentang dampak sosial dan bagaimana cara berkontribusi,” imbuhnya.
Dengan perubahan ini, masa depan filantropi akan semakin diwarnai oleh aktivisme yang digerakkan oleh generasi muda kaya.
“Mereka bukan hanya donatur, mereka adalah pembawa perubahan,” pungkas Bailey.
(daun/pta)