Pengusaha-Petani Kritik Aturan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek
Jakarta, CNN Indonesia —
Kombinasi pengusaha rokok Dan petani tembakau mengkritik kebijakan standardisasi yang dilakukan pemerintah dengan penerapan kemasan produk tembakau dan rokok elektrik polos tanpa merek.
Kebijakan itu diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Kritik mereka sampaikan dalam pernyataan sikap yang dibacakan di kantor Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Rabu (11/9). Mereka merupakan perwakilan dari APINDO, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI).
Mereka mengatakan penerapan kebijakan kemasan polos itu justru berpotensi membuat pelaku usaha rokok ilegal dapat semena-mena memalsukan kemasan produk resmi serta tidak membayar cukai. Hal ini akan berdampak negatif bagi seluruh mata rantai industri hasil tembakau Indonesia, maupun bagi negara.
“Karenanya, kami mohon pemerintah tidak semakin menyuburkan peredaran rokok ilegal dengan mendorong regulasi eksesif,” kata mereka.
Mereka meminta agar Presiden Jokowi dan Presiden Terpilih Prabowo Subianto membatalkan aturan tersebut.
“Kami memohon kepada bapak presiden dan bapak presiden terpilih agar tidak menyetujui ketentuan standarisasi berupa kemasan polos dengan menghilangkan identitas merek produk tembakau dalam RPMK yang akan segera disahkan oleh Kementerian Kesehatan RI. Hal ini berpotensi mendorong makin maraknya produk ilegal yang merugikan semua pihak dan menggerus penerimaan negara,” kata mereka.
Dalam kesempatan itu, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi menyayangkan kebijakan tersebut. Menurutnya, industri hasil tembakau (IHT) berperan penting dalam menggerakkan perekonomian.
IHT, katanya, merupakan sumber penerimaan negara yang cukup besar. Hal itu terlihat dari pendapatan negara yang berasal dari cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar Rp218,6 triliun pada 2022 dan sebesar Rp213,5 triliun.
Angka tersebut katanya lebih besar dibandingkan dividen yang disetorkan BUMN ke negara. Dividen BUMN tercatat sebesar sebesar Rp40 triliun pada 2022 dan sebesar Rp81,2 triliun pada 2023.
“tu termasuk semua BUMN, financial institution dan Pertamina, semuanya digabung hanya Rp80 triliun. Sementara kami Rp231 triliun. Jadi dalam hal ini, kami merasa peran industri hasil tembakau sangat dan masih amat penting,” katanya.
(fby/tanggal)