Kenapa Rumah Subsidi untuk Masyarakat Kurang Mampu Banyak yang Kosong?
Perumahan subsidi yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin mampu banyak kosong dan terbengkalai. Salah satunya di Villa Kencana, CikarangBekasi, Jawa Barat.
Rumah yang diresmikan Jokowi pada 2017 lalu itu tampak seperti wilayah tak berhuni. Tanaman liar tampak meranggas di antara tembok rumah dengan warna kuning yang memudar dan mengelupas.
Sama tragisnya, bagian atap beberapa rumah pun terlihat rapuh, bahkan ada yang sudah ambrol. Rumah-rumah itu tak berpenghuni, bagian dalam pun berantakan, dihiasi akar-akar tanaman liar di sana sini.
Proyek rumah murah ini semula diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) melalui kredit kepemilikan rumah (KPR) subsidi. Namun, kini tempat itu ditinggalkan, hanya rayap yang setia berada di sana untuk menggerogoti pintu bobrok.
Tak hanya di Cikarang, kondisi sama juga terjadi di rumah subsidi lainnya. Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR Iwan Suprijanto mengatakan masih menemukan rumah yang dibeli dengan bantuan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) tidak ditempati alias kosong.
Kejadian itu bahkan terjadi di beberapa provinsi.
“Saya melihat, ini mohon maaf sekali, beberapa perumahan yang mendapatkan FLPP, KPR (kredit pemilikan rumah), dan sebagainya saya temui masih banyak yang kosong. Itu masih ada yang kosong di beberapa provinsi, ada yang 60 persen bahkan 80 persen,” ucap dia dalam acara Proptech Conference and Expo di Auditorium Kementerian PUPR, Jumat (23/8).
Pemerintah tak banyak menjelaskan mengapa rumah-rumah itu banyak kosong dan terbengkalai.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono malah menekankan pembentukan Kementerian Perumahan di pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka nanti lah yang akan fokus untuk mengatasi hal tersebut.
“Nanti dengan Kementerian Perumahan bisa, makanya lebih fokus,” tutur dia di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (11/9).
Basuki mengapresiasi rencana pembentukan Kementerian Perumahan di pemerintahan selanjutnya. Menurutnya, pembentukan kementerian baru itu akan membuat pemerintah lebih fokus untuk mengerjakan program andalan Prabowo yakni program 3 juta rumah dalam satu tahun.
Selain itu, Kementerian Perumahan juga akan berfokus untuk mengatasi masalah backlog atau kekurangan pasokan hunian.
“Karena backlognya masih banyak, kan masih sekitar 9 jutaan. Itu dengan Kementerian Perumahan menurut saya lebih bagus, lebih fokus,” ucapnya lebih lanjut.
Persoalan rumah subsidi kosong dan terbengkalai itu menjadi ironi. Maklum, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki ambisi besar untuk memangkas kekurangan pasokan (backlog) perumahan.
Ambisi tersebut ia coba wujudkan dengan mencanangkan program satu juta rumah according to tahun sejak awal pemerintahannya, sepuluh tahun silam. Pada saat itu, atau 2015, angka backlog masih berada di degree 11,4 juta.
Jokowi bahkan menargetkan bisa menekan backlog menjadi ke degree 6,8 juta dalam kurun waktu 5 tahun.
Jauh panggang dari api, hingga 2023 angka backlog malah naik. PT Financial institution Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) mencatat angka backlog mencapai 12,7 juta pada tahun lalu.
Terkait realisasi program satu juta rumah, Kementerian PUPR mencatat sejak dicanangkan Jokowi pada 2015 realisasi program ini telah mencapai 9.206.379 unit according to akhir 2023.
Khusus 2024, telah ditetapkan analysis sebesar 1.042.738. Sementara, hingga akhir Juli, capaian program satu juta rumah baru mencapai 617.622 unit atau 59.23 persen dari overall goal nasional.
Angka tersebut meliputi pembangunan bagi MBR sebesar 484.119 unit dan non MBR 133.503 unit di seluruh Indonesia.
Lantas, apa biang kerok banyak rumah subsidi terbengkalai di tengah backlog hunian yang masing 12,7 juta unit?
Pengamat properti Aleviery Akbar menilai masalah itu dipicu beberapa faktor. Salah satunya, kesalahan lokasi hunian subsidi.
Hal itu membuat minat masyarakat yang menjadi sasaran rendah. Pasalnya, lokasi yang jauh itu berdampak pada jumlah biaya transportasi yang mereka keluarkan untuk mencari nafkah maupun ke fasilitas lain seperti sekolah, rumah sakit, dan pasar.
Akhirnya, mereka lebih suka mengontrak demi menekan pengeluaran transportasi ketimbang membeli rumah subsidi.
“Misalnya pekerja yang mendapatkan rumah berlokasi jauh dari tempatnya bekerja. Sehingga, harus menambah lagi biaya transportasi dan akhirnya ditinggalkan oleh pemilik,” kata dia kepada CNNIndonesia.com.
Faktor lain, pemberian pembiayaan kepada masyarakat yang tidak tepat sasaran. Banyak masyarakat yang membeli rumah subsidi sebenarnya secara finansial mampu.
Tapi mereka membeli rumah subsidi untuk tujuan investasi. Mereka membeli kemudian tidak ditempati.
Karenanya, lembaga pembiayaan perumahan pun seharusnya bisa profiling dulu pesertanya sehingga bisa tepat sasaran.
Selain masalah itu, Aleviery menyebut alokasi subsidi KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dari pemerintah juga tak cukup membantu masyarakat untuk membeli rumah.
Hal itu pun berimplikasi pada backlog yang masih tinggi. Menurutnya, kuota FLPP masih belum cukup.
“FLPP hanya bisa menyalurkan ratusan ribu rumah saja, tapi backlog perumahan sudah jutaan. Artinya, memang gap-nya terlalu jauh,” jelas Aleviery.
Kementerian PUPR sendiri baru saja menambahkan alokasi FLPP sebanyak 34 ribu unit rumah tahun ini. Dengan begitu, unit FLPP tahun ini naik dari 166 ribu menjadi 200 ribu unit.
Adapun anggaran yang disiapkan untuk alokasi tambahan itu mencapai Rp4,3 triliun. Dengan tambahan tersebut, pendanaan KPR FLPP tahun ini overall menjadi Rp18 triliun.
Lebih lanjut, Aleviery mengatakan, dengan information realisasi backlog yang masih mencapai 12,7 juta unit, maka goal Jokowi menekan kesenjangan hunian belum tercapai. Meskipun program satu juta rumah sudah berjalan hampir 10 tahun.
Ia pun lantas mengingatkan pemerintah untuk melakukan sejumlah kebijakan agar backlog itu bisa ditekan. Menurutnya, pemerintah perlu menyediakan lahan dan infrastruktur di sekitar perumahan yang dibangun.
Selain itu, kerja sama dengan pihak developer/pengembang swasta harus ditambah dan lebih luas lagi. Sebab, untuk mencapai goal sejuta rumah tidak bisa dibebankan hanya kepada Kementerian Perumahan saja.
“Di samping itu, kemudahan pembiayaan kepemilikan rumah kepada masyarakat juga perlu lebih diperluas,” ucap Aleviery.