Pengamat menyebut rencana pemerintah menyalurkan subsidi KRL berbasis NIK bisa menggusur hak masyarakat kelas menengah bawah.

Segudang ‘Bencana’ Mengintai Jika Subsidi KRL Diubah Berbasis NIK



Jakarta, CNN Indonesia

Tes ombak, mungkin kiasan itu yang pas menggambarkan gerak-gerik kantor Indonesia dalam membuat aturan.

Subsidi KRL Commuter Line yang akan diubah berbasis nomor induk kependudukan (NIK) menjadi contoh teranyar. Ini disiapkan tepat menjelang kepemimpinan presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto.

“Penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek,” tulis Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025.

IKLAN

GULIR UNTUK MELANJUTKAN DENGAN KONTEN

Saat rakyat marah, mempertanyakan rasionalisasi kebijakan tersebut, pemerintah diam. Presiden Joko Widodo bahkan cuci tangan.

Jokowi mengaku tak tahu soal rencana itu. Ia berdalih belum ada rapat mengubah skema pemberian subsidi tiket KRL mulai 2025.

“Saya enggak tahu karena belum ada rapat mengenai itu,” kata Jokowi usai meresmikan Gedung Pelayanan Kesehatan Respirasi Ibu dan Anak di RS Persahabatan, Jakarta Timur, Jumat (30/8).

Sang Kepala Negara juga tak bersikap. Ia tidak bisa memastikan apakah dalam waktu dekat pemerintah bakal rapat dan berkoordinasi terkait wacana tersebut.

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Apa yang dilakukan Jokowi ditiru para pembantunya yang enggan klarifikasi.

“Kita akan memberikan yang terbaik untuk masyarakat,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi singkat di Kompleks DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (9/9).

Budi sama sekali tidak menjelaskan bagaimana sikap pemerintah. Negara tak hadir kala masyarakat butuh kejelasan.

Direktur Eksekutif Institute for Building of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti menegaskan tak ada urgensi pemerintah mengubah skema subsidi KRL. Ini malah bagai pukulan lain untuk rakyat, terutama kelas menengah.

“Tentu saja tidak tepat. Saat ini daya beli masyarakat masih lemah karena kebijakan pemerintah cenderung menyebabkan kontraksi ekonomi. Kalau ditambah kebijakan ini (subsidi KRL berbasis NIK) pasti ekonomi akan lebih terkontraksi,” ucapnya kepada CNNIndonesia.com.

Esther mempertanyakan bagaimana pemerintah menjalankan ide aneh tersebut. Menurutnya, membatasi subsidi dengan NIK pasti akan lebih rumit.

Bahkan, ia memperkirakan ada kecurangan yang bakal muncul. Esther meramal potensi masyarakat untuk mengakali kebijakan tersebut.

“Kebijakan subsidi berdasarkan NIK menurut saya akan lebih kompleks implementasinya. Orang bisa mendaftarkan lebih dari satu NIK,” prediksi Esther.

Ia melihat kebijakan ini juga tidak mendorong masyarakat menggunakan transportasi publik. Akibatnya, jalan raya bakal semakin macet.

Esther mewanti-wanti ancaman banjirnya motor di jalanan imbas kebijakan itu. Ia meyakini warga Indonesia akan berbondong-bondong beralih ke kendaraan pribadi.

“Pemerintah harus setop mengeluarkan kebijakan kontraksi dengan mengurangi subsidi,” pinta Esther.

“Tetapi, (pemerintah) di sisi lain mengeluarkan kebijakan yang sangat konsumtif, seperti upacara kemerdekaan Indonesia di IKN yang menelan anggaran ratusan miliar hanya untuk beberapa hari di IKN. Ini sangat tidak bijak!” kritiknya.

Selama ini, pemerintah katanya, memang memberikan subsidi kepada seluruh pengguna KRL Jabodetabek. Bantuan ini diberikan sebagai bentuk kewajiban pelayanan publik (PSO).

Nominal PSO yang diberikan bervariasi. Misalnya, pada 2025 PT Kereta Api Indonesia (KAI) akan menerima Rp4,79 triliun, yang tak hanya untuk Commuter Line.

Belum ada kejelasan berapa alokasi PSO khusus untuk KRL. Namun, jika mengacu information tahun-tahun sebelumnya, angka subsidi memang terus turun.

CNBC Indonesia Analysis mencatat subsidi PSO untuk KRL pada 2022 sebesar Rp1,8 triliun. Angka tersebut kemudian merosot ke Rp1,6 triliun pada tahun berikutnya.

Padahal, penumpang KRL dari tahun ke tahun terus meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada 2023 lalu ada 290 juta penumpang yang menaiki moda transportasi ini, menunjukkan betapa pentingnya KRL.

Ketua Discussion board Transportasi Angkutan Jalan dan Kereta Api Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana ikut bersuara. Ia melihat pemerintah tak jelas, apakah akan menghapus subsidi atau mengelola PSO secara transparan berbekal NIK.

Aditya paham betapa pentingnya memberikan subsidi tepat sasaran. Ini khususnya untuk masyarakat tertentu yang betul-betul butuh akses angkutan umum.

“Saat ini masyarakat seharusnya malah diberikan insentif menggunakan angkutan umum agar meninggalkan kendaraan pribadi. Salah satunya dengan menyediakan angkutan umum yang aman, nyaman, dan terpadu, tetapi terjangkau,” kata Aditya.

Di lain sisi, ia menekankan bahwa kenaikan tarif KRL adalah keniscayaan. Negara harus hadir dengan tetap memberikan subsidi agar kenaikan harga masih terasa wajar bagi masyarakat, bukan malah menghapusnya.

Sedangkan golongan masyarakat tertentu yang sangat membutuhkan tetap diberi dukungan insentif untuk bisa tetap menggunakan KRL di tengah kenaikan tarif. Ia menekankan pentingnya subsidi tepat sasaran di momen ini.

“Jadi, tidak dengan menghapuskan subsidi (yang ada). Hanya yang ber-NIK dan memenuhi kriteria bisa mendapatkan tarif subsidi,” sarannya kepada pemerintah.

“Hal lain yang perlu dipersiapkan adalah foundation information untuk menentukan NIK mana yang memenuhi kriteria untuk mendapatkan subsidi. Tentu ini perlu proses persiapan yang matang dan lintas sektoral serta kriterianya harus jelas, datanya harus akurat, dan dengan proses verifikasi yang komprehensif,” jelas Aditya.

Selain masalah tarif, Aditya berpesan pemerintah harus meningkatkan kualitas dan kapasitas angkutan umum. Ia menyebut langkah tersebut bisa menggenjot penumpang moda transportasi massal di tanah air.

Persentase pengguna angkutan umum di Jabodetabek sekarang masih berkisar di angka 15 persen. Sedangkan goal rencana induk transportasi Jabodetabek adalah 60 persen pergerakan menggunakan angkutan umum di 2030.

“Saat ini kapasitas angkut KRL sedang menurun karena faktor usia dan perbaikan serta peremajaan (trainset) masih memerlukan waktu,” tuturnya.

“Beberapa stasiun masih dalam proses revitalisasi sehingga proses perpindahan moda juga belum optimum sehingga faktor psikologi pengguna KRL belum memungkinkan untuk kebijakan penghapusan atau pengurangan signifikan subsidi menggunakan NIK,” tandas Aditya.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *