Bisakah Lonjakan Diabetes di RI Direm dengan Cukai Minuman Berpemanis?
Jakarta, CNN Indonesia —
Menteri Keuangan Sri Mulyani semakin serius akan mengenakan pajak minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK mulai 2025. Hal itu seiring meningkatnya kasus diabetes terutama pada anak-anak.
Rencana itu termuat dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025.
Pengenaan cukai terhadap MBDK tersebut dimaksudkan untuk mengendalikan konsumsi gula dan pemanis yang berlebihan. Sri Mulyani mengatakan sejatinya cukai minuman berpemanis sama dengan untuk rokok.
“Cukai rokok tetap jalan dan cukai minuman berpemanis, sesuai tujuan dari Kementerian Kesehatan untuk menjaga meluasnya atau makin tingginya dan prevalensi diabetes bahkan kepada tingkat anak-anak,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (28/8).
Information Global Diabetes Federation (IDF) seperti dikutip dari situs Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan jumlah penderita diabetes di dunia pada 2021 mencapai 537 juta.
Angka ini diprediksi akan terus meningkat mencapai 643 juta pada 2030 dan 783 juta pada 2045.
Menurut IDF, Indonesia menduduki peringkat kelima negara dengan jumlah diabetes terbanyak dengan 19,5 juta penderita pada 2021 dan diprediksi akan menjadi 28,6 juta pada 2045.
Lantas bisakah cukai MBDK menekan angka diabetes?
Direktur Riset di Vibrant Institute Andri Perdana mengatakan pengenaan cukai MBDK tidak akan serta merta menurunkan konsumsi gula di masyarakat. Pasalnya berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), proporsi MBDK hanya 48 persen dari seluruh konsumsi minuman berpemanis yang ada di Indonesia.
Sedangkan 52 persen konsumsi minuman berpemanis lainnya berasal dari produk lain seperti minuman yang dijual di jalan, toko, cafe, serta minuman yang dibuat sendiri di rumah.
Di lain sisi, penerapan cukai MBDK diprediksi akan menurunkan tingkat penjualan secara signifikan. Andri mengatakan berdasarkan kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), kenaikan harga MBDK sebesar Rp500 saja sudah dapat mengurangi minat pembelian 48 persen responden.
“Jadi jika cukai tersebut hanya ditujukan kepada produk MBDK, besar kemungkinan penjualan produk MBDK akan turun namun konsumsi gula di masyarakat tetap tinggi karena beralih ke minuman berpemanis non-MBDK yang tidak terkena cukai,” katanya kepada CNNIndonesia.com.
Apalagi jika dibandingkan dengan overall konsumsi gula masyarakat, sambung Andri, MBDK baru mencangkup 23,7 persen dari keseluruhan. Artinya, cukai yang direncanakan ini belum mencakup 76 persen dari overall konsumsi gula di masyarakat.
Karena itu, ia menilai sejatinya sulit mengharapkan cukai kepada produk MBDK akan berpengaruh terhadap penurunan konsumsi gula yang signifikan dan menyeluruh karena yang ditargetkan baru salah satu jenis produk bergula, bukan gula itu sendiri.
Ia menduga pemerintah menghindari membebankan cukai ke gula secara langsung karena komoditas pemanis itu merupakan bagian dari sembako. Kalau cukai dikenakan pada gula katanya, itu bisa berpengaruh pada lonjakan inflasi dan daya beli masyarakat yang sejatinya sekarang sudah mengalami tekanan.
“Oleh karenanya, cukai hanya dibebankan kepada MBDK yang dianggap sebagai kebutuhan yang lebih tersier,” katanya.
Sementara itu, Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan Institute for Building of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menilai pengenaan cukai pada produk yang mengandung gula memang bisa menjadi langkah efektif untuk mengurangi konsumsi gula, yang pada akhirnya bisa membantu menekan angka diabetes termasuk pada anak-anak.
Untuk mencapai goal pengurangan konsumsi gula dan penurunan angka diabetes pada anak, sambungnya, kebijakan cukai harus dirancang sebagai bagian dari strategi yang komprehensif, termasuk edukasi, promosi kesehatan, dan pengawasan yang efektif.
Namun, efektivitas kebijakan itu katanya bergantung pada beberapa faktor. Pertamatingkat kenaikan harga. Ia mengatakan pengenaan cukai akan efektif menekan diabetes bila itu menimbulkan dampak kenaikan harga produk yang signifikan.
Kenaikan harga itu akan mengubah perilaku konsumen. Jika kenaikan harga terlalu kecil, dampaknya terhadap konsumsi mungkin minimum.
Keduakesadaran publik di mana pengenaan cukai perlu didukung oleh kampanye edukasi yang menginformasikan bahaya konsumsi gula berlebihan, terutama bagi anak-anak. Kesadaran yang lebih tinggi akan risiko kesehatan, kata Rizal, bisa memperkuat dampak dari cukai.
Ketigaadvokasi akan pentingnya sehat serta promosi alternatif produk yang lebih sehat yang rendah gula. Rizal mengatakan jika konsumen memiliki pilihan yang lebih sehat dengan harga terjangkau, maka lebih mungkin mengurangi konsumsi gula.
Terkait tarif, Rizal mengatakan perlu melihat negara lain yang lebih dulu menerapkannya seperti Iggris yang sebesar 31 persen dan Filipina sebesar 14 persen.
“Tarif cukai untuk produk yang mengandung gula di Indonesia harus minimum 20 persen agar efektif dalam mengubah perilaku konsumsi,” katanya.
Untuk memastikan bahwa kebijakan cukai MBDK tidak mengganggu kinerja sektor industri dan penciptaan lapangan kerja, Rizal mengatakan penting untuk melakukan pendekatan yang integratif, seperti pemberian insentif bagi sektor industri agar tetap beroperasi dan berinvestasi.
Pemerintah katanya juga perlu melibatkan pelaku industri dalam perumusan kebijakan agar dapat mendukung kebutuhan nyata mereka.
“Penting juga melakukan evaluasi dan penyesuaian secara berkala agar kebijakan tetap relevan dan efektif,” katanya.
(pertengahan)