Yakinkah Pemerintah Bisa Cepat Suntik Mati PLTU?
Jakarta, CNN Indonesia —
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mempercepat suntik mati atau menghentikan operasional sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Dari hasil studi yang dilakukan, terdapat 13 unit PLTU yang berpotensi dimatikan lebih cepat dari rencana awal, diantaranya PLTU Suralaya di Cilegon, Banten, PLTU Ombilin di Sijantang Koto, Sumatera Barat, hingga PLTU Cirebon-1.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi mengungkap 13 PLTU tersebut memiliki kapasitas sebesar 4,8 gigawatt (GW) dengan dengan 66 juta ton CO2.
“Bahwa kita itu hasil dari studi mengenai pensiun batubara kita itu ada tiga studi, dari kita sendiri, lalu dari ITB, lalu dari UNOPS. Dari tiga ini kita identifikasi bareng semua, kita rangkum bahwa kita punya 13 checklist dari PLTU di luar Cirebon,” ujar Eniya saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Selasa (20/8).
Eniya menyebutkan, pihaknya sedang menyiapkan highway map atau peta jalan peta jalan pensiun PLTU batu bara. Peta jalan itu katanya akan dikeluarkan dalam bentuk keputusan menteri (kepmen). Kriteria PLTU seperti apa yang bisa dipensiunkan akan diatur di dalam peta jalan tersebut.
“Kami akan mengeluarkan dalam bentuk kepmen untuk peta jalan pensiun PLTU. Skenarionya seperti apa, maksudnya syarat-syarat untuk menjadi bisa dipensiunkan itu roadmap-nya seperti apa. Kalau sampai di ujung memenuhi, berarti dia harus dipensiunkan. Jadi tata cara identifikasi pemesiunannya ini kita atur di dalam keputusan menteri. Keputusan menteri ini yang akan kita bahas,” jelasnya.
Kendati demikian, ia mengaku dari 13 unit PLTU tersebut, beberapa di antaranya apabila dibiarkan saja sebetulnya juga akan mati dengan sendirinya pada 2030.
Lalu sejauh mana kesiapan Indonesia untuk siap suntik mati PLTU?
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Padjajaran Yayan Satyakti mengatakan sampai saat ini belum melihat ada alternatif yang betul-betul bisa diandalkan sebagai pengganti bila PLTU disuntik mati. Dengan kondisi itu, ia ragu suntik mati PLTU bisa diimplementasikan lebih cepat.
“Kalau kita lihat masa ekonomis PLTU 20 tahun. Kalau kita lihat penggantinya, saya agak pesimis,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
Menurut Yayan, Indonesia sangat sulit untuk menyuntik mati PLTU lebih cepat karena keterbatasan teknologi dan investasi. Selain itu kebijakannya juga belum jelas, beda dengan Amerika Serikat (AS).
Di AS, langkah untuk mengurangi dan pensiunkan PLTU sudah ditandai dengan kebijakan mengganti pembangkit batu bara dengan Pembangkit Listrik Tenaga Fuel. Sebaliknya, di Indonesia upaya transisi itu belum dilakukan.
Indonesia masih nyaman bertahan menggunakan PLTU. Memang berupaya menekan emisi karbon yang dikeluarkan. Tapi itu belum semasif seperti yang diharapkan sehingga kemungkinan untuk pensiun dini PLTU masih butuh waktu puluhan tahun.
“Skenario yang sekarang dikejar KEN (Kebijakan Energi Nasional) saat ini bersifat dekarbonisasi. Jadi PLTU ada tetapi angka karbonnya diturunkan. Jadi sepertinya kita tetap PLTU sampai 30 tahun yang akan datang,” jelasnya.
Dengan kondisi ini, ia menilai mimpi mematikan PLTU hanya sekedar angan-angan. Sebab, meski kemungkinan terjadi masih puluhan tahun, harusnya alternatif yang nyata sudah dilakukan sejak dini.
“Risiko mematikan PLTU sepertinya itu isu tidak memungkinkan, karena penggantinya memang tidak siap. Andaikan ada, paling yang memang sudah tua, tapi PLTU PLN produktivitasnya tinggi, ya rata-rata baru 5-10 tahun,” terangnya.
Sementara, Direktur Ekonomi Heart of Financial and Legislation Research (Celios) Nailul Huda menilai langkah pensiun dinikan PLTU sudah sangat baik demi menjaga lingkungan dengan memperlambat datangnya perubahan iklim. Tapi, tentunya alternatif pengganti harus juga disiapkan sejak dini.
“Pemerintah perlu segera membuat langkah mitigasi sebelum kerusakan lingkungan semakin mempercepat perubahan iklim. Dimulai dari kesadaran penggunaan bahan bakar ramah lingkungan untuk listrik dan kegiatan produksi. Implementasi ESG terhadap kegiatan produksi di Indonesia harus dipercepat,” kata Nailul.
Kemudian, untuk memperlancar rencana, peralihan PLTU ke Pembangkit Listrik Tenaga EBT membutuhkan komitmen serius dari pemerintah. Sebab, sampai saat ini ia menilai Indonesia masih sangat mengandalkan PLTU.
Menurut Nailul, langkah ini di satu sisi memang akan menimbulkan dampak negatif seperti kehilangan pekerjaan. Namun hal itu tentu bisa dimitigasi dengan penambahan ability pekerja dari operasional PLTU ke PLT EBT.
Selain itu, tanpa pengganti yang pasti maka rencana suntik mati PLTU ini juga bisa mengganggu pasokan listrik masyarakat. Namun, langkah mitigasi awal bisa dilakukan dengan menyalurkan listrik dari wilayah yang surplus.
Sebab, jika tidak berani mengambil risiko sejak dini, maka rencana untuk menghilangkan PLTU dari batu bara tak akan tercapai. Apalagi jika menunggu ada pengganti 100 persen, sudah dipastikan masih akan lama terwujudnya.
“Kemudian juga mengenai pasokan listrik ke masyarakat dan industri juga bisa terganggu, maka saya rasa harus melihat provinsi mana yang mengalami surplus listrik. Itu bisa menjadi langkah mitigasi awal. Kalau nggak, ya nggak jalan,” pungkas Nailul.
(pertengahan)