Eks Menkeu Bongkar Alasan Rasio Pajak RI Susah Digenjot
Jakarta, CNN Indonesia —
Menteri Keuangan 2014-2016 Bambang Brodjonegoro membongkar alasan mengapa rasio pajak Indonesia susah naik meski terus dieksploitasi.
Bambang mengatakan pasar Indonesia dieksploitasi oleh banyak perusahaan multinasional. Akan tetapi, Jakarta tak dipilih sebagai kantor pusat atau kantor pusat dari sejumlah multinational corporation (MNC) tersebut.
“Multinational company-multinational corporation itu cari market-nya ya di Indonesia. Mengeksplorasi dan mengeksploitasi sebanyak mungkin marketplace di Indonesia, tapi milih kantor pusat di Singapura, Bangkok, atau Kuala Lumpur,” ungkapnya dalam Peluncuran Buku 9 Alasan dan 8 Harapan Memindahkan Ibu Kota di Kementerian PUPR, Jakarta Selatan, Rabu (14/8).
“Karena saya pernah menjadi menteri keuangan, ini artinya tax ratio kita akan susah naik. Karena pasti pajak itu diserap oleh kantor pusat,” tegasnya.
Oleh karena itu, Bambang berpesan agar Jakarta terus memanfaatkan peluang yang ada untuk terus meningkatkan daya saing antara kota international dunia. Ini bisa dilakukan seiring pemindahan ibu kota ke IKN Nusantara, Kalimantan Timur.
Mantan anak buah Presiden Joko Widodo itu menegaskan Jakarta belum pada posisi yang optimum. Padahal, Indonesia secara keseluruhan diklaim masih menjadi pemilik produk domestik bruto (PDB) terbesar di Asia Tenggara dan pusatnya ada di Jakarta.
Rasio pajak memang menjadi salah satu sorotan presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto. Ia mengkritik ‘kutukan’ Indonesia yang hanya bisa mencapai rasio pajak di kisaran 10 persen.
Padahal, Prabowo yakin Indonesia bisa menggenjot capaian tersebut, bahkan ke stage 16 persen atau setara Thailand. Salah satu upayanya bukan terpaku pada kenaikan pajak, melainkan memperluas foundation perpajakan atau jumlah wajib pajak di Indonesia.
Perubahan daftar kota besar di Indonesia
Bambang juga menyoroti bagaimana wilayah aglomerasi Jakarta mengubah daftar 10 kota terbesar di Indonesia. Ia menyebut Bekasi dan Depok sukses merangsek ke posisi 5 kota besar di tanah air.
“Dari sejak SD selalu membayangkan kota terbesar di Indonesia nomor satu Jakarta, nomor dua Surabaya, nomor tiga Medan, nomor empat Bandung, nomor lima mungkin Semarang, Makassar, dan seterusnya. Itu kita hapal terus dan pikirkan,” jelasnya.
“Ternyata kalau kita replace knowledge berdasarkan kependudukan, kota terbesar nomor satu tetap Jakarta, masalahnya kota nomor dua itu sudah Bekasi, bukan lagi Surabaya yang jadi nomor tiga. Nomor empat kalau gak salah masih Bandung, nomor limanya Depok. Keenam mungkin Medan, ketujuh Tangerang, delapan dan sembilan saya lupa, lalu kesepuluh Tangerang Selatan, kota yang paling muda di wilayah aglomerasi Jakarta,” imbuh Bambang.
Penuh sesak di daerah penyangga Jakarta itulah yang dirasa perlu pembentukan simpul ekonomi baru. Bambang berharap itu bisa terwujud di IKN, Balikpapan, dan Samarinda.
Meski, Bambang menekankan pembangunan IKN Nusantara bukan untuk menciptakan ‘duplikat’ Jakarta. Ia menegaskan ibu kota baru ini tak bakal menjadi Jakarta kedua.
“Menurut saya itu (penumpukan di wilayah aglomerasi Jakarta) tidak sehat untuk negara sebesar Indonesia,” tegasnya.
“Kita tidak harus menciptakan Jakarta kedua. Jadi, biarkanlah ekonomi di Nusantara berkembang untuk memenuhi paling tidak kebutuhan Nusantara sendiri dan kebutuhan di Samarinda dan Balikpapan. Jakarta justru saatnya benar-benar menjadi kota international,” tutup Bambang.
(skt/agt)