Pengusaha Ramai-ramai Protes Aturan Larangan Jual Rokok Eceran
Jakarta, CNN Indonesia —
Sejumlah asosiasi pedagang pasar hingga pengusaha ritel ramai-ramai menolak larangan penjualan rokok batangan dan zonasi penjualan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Pasalnya, beleid yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 26 Juli itu membatasi penjualan rokok eceran satuan in step with batang hingga zonasi dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Kebijakan penjualan rokok ini dinilai merugikan pelaku UMKM, pedagang pasar hingga toko ritel fashionable.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (AKRINDO) Anang Zunaedi khawatir aturan larangan penjualan rokok tersebut bisa berdampak pada anjloknya pendapatan pelaku usaha.
“Kami yang di Jawa Timur khususnya ada 900 lebih anggota kita dari koperasi ritel dan juga 1.050 toko-toko lokal yang mereka rata-rata itu mengandalkan omzet dari penjualan rokok. Banyak dari anggota koperasi yang kebanyakan UMKM, mereka mengandalkan rokok karena kontribusi omzetnya mencapai 50 persen,” ujar Anang dalam diskusi media di Gado Gado Boplo Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (13/8).
Ia menegaskan sudah sempat bersurat ke Jokowi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Koperasi dan UKM ihwal permasalahan ini. Ia berharap bisa mendapat solusi saling menguntungkan dari surat tersebut.
Anang menegaskan aturan soal batasan penjualan rokok sebelumnya yang berlaku tidak pernah dilanggar, seperti penjualan rokok terhadap batas usai tertentu. Ia pun juga menentang keras pembatasan zonasi minimum 200 meter dari satuan pendidikan yang diatur dalam Pasal 434 ayat 1 PP 28/2024 tersebut.
“Ya jelas sangat terasa sekali ya. Yang jelas (UMKM) akan kehilangan omzet. Kawan-kawan UMKM itu kontribusinya 50 persen (dari penjualan rokok). Berarti mereka akan kehilangan 50 persen (pendapatan). Bagaimana nanti dengan toko yang lain juga? Karena otomatis dengan zonasi itu, berarti mereka tidak bisa berjualan. Kami tolak. Kita akan upayakan untuk bagaimana PP ini bisa dibatalkan,” tegasnya lebih lanjut.
Dalam kesempatan sama, Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Herninta Defayanti mengungkap hal senada. Menurutnya, pedagang pasar juga banyak yang menjual rokok hingga menjadi kontributor terbesar pada pendapatannya.
Ia pun menolak kebijakan pembatasan penjualan rokok, mengingat kondisi pedagang yang mengeluh karena turunnya omzet akibat kebijakan itu.
“Tentunya ini menjadi pukulan keras buat pedagang pasar, terutama anggota kami di mana setiap hari pedagang pasar mengeluh tentang penurunan omzet bahkan sampai 30 persen. Rokok sebagai salah satu komoditas dagang, salah satu produk yang fast paced, cepat penjualannya dan itu penopang omzet bagi mereka sehingga tadi disampaikan, klasterisasi, penjualan rokok secara eceran tentu juga menjadi salah satu hal yang perlu ditinjau kembali kebijakan tersebut,” jelas Herninta.
Sementara, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah pun menuturkan penjualan rokok berkontribusi 15 persen dari penjualan ritel fashionable.
“Itu bisa mencapai Rp40 triliun ya penjualan rokok nasional di ritel fashionable, di mana ritel fashionable itu 15 persen dan itu bisa kehilangan penjualan 53 persen toko,” ujar Budihardjo.
Menurut Budihardjo, implementasi beleid tersebut akan berdampak pada pengurangan pendapatan anggota Hippindo hingga Rp21 triliun. Kendati, ia tak menjelaskan periodisasi potensi kehilangan pendapatan tersebut.
“(Kalau) tokonya kami itu enggak boleh jual, kalau sampai zonasi ini dijalankan, berarti itu akan kehilangan pendapatan Rp21 triliun. Ini angka yang besar sekali,” jelasnya.
(del/sfr)