Kelas Menengah Merosot, Benarkah Alarm Krisis Ekonomi Mulai Menyala?
Proporsi kelas menengah di Indonesia mulai terkikis seiring melemahnya daya beli beli. Tak ayal, jumlah tabungan kelas menengah juga mulai menurun.
Kelas menengah dihadapkan dengan sejumlah beban keuangan. Golongan tersebut selama ini dianggap mapan sehingga tak mendapat jaring perlindungan dari pemerintah.
Padahal, mereka menjadi tulang punggung ekonomi RI. Maklum, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagian besar masih ditopang oleh konsumsi dalam negeri.
Artinya, gejolak keuangan kelas menengah dapat menimbulkan guncangan pada ekonomi dan alarm krisis.
Dalam laporan International Financial institution bertajuk ‘Aspiring Indonesia-Increasing the Center Elegance’ kelas menengah adalah mereka yang memiliki pengeluaran sebesar Rp1,2 juta hingga Rp6 juta in step with bulan in step with kapita.
Selanjutnya, mereka yang memiliki pengeluaran Rp532 ribu hingga Rp1,2 juta in step with bulan in step with kapita tergolong sebagai kelompok calon kelas menengah (aspiring heart magnificence/AMF). Lalu, masyarakat dengan pengeluaran Rp354 ribu hingga Rp532 ribu in step with bulan in step with kapita masuk dalam kelas rentan.
Sementara, mereka yang memiliki pengeluaran di bawah Rp354 ribu in step with bulan in step with kapita, masuk golongan miskin. Sedangkan, untuk mereka yang memiliki pengeluaran di atas Rp6 juta in step with bulan in step with kapita tergolong dalam kelas atas.
Babak belur dihajar keadaan, proporsi kelas menengah pun turun. Tengok saja, knowledge Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS yang diolah oleh Financial institution Mandiri dalam Day-to-day Financial and Marketplace (Juli 2024), proporsi kelas menengah pada struktur penduduk Indonesia pada 2023 cuma 17,44 persen. Jumlah ini anjlok dari proporsi pada 2019 yang mencapai 21,45 persen.
Penurunan jumlah kelas menengah ini berbanding terbalik dengan kelompok rentan. Dalam periode yang sama proporsi kelompok rentan malah meningkat. Tercatat jumlah masyarakat rentan naik dari 68,76 persen pada 2019 menjadi 72,75 persen pada 2023.
Gejala terpukulnya ekonomi kelas menengah terlihat dari daya beli mereka.
Fakta turunnya daya beli dan tren makan tabungan kelas menengah. Knowledge Mandiri Spending Index menunjukkan tabungan konsumen menengah dengan nilai Rp1 juta hingga Rp10 juta, turun dari kisaran 100 pada Januari 2023 menjadi 96,6 pada Mei 2024.
Adapun fenomena makan tabungan paling dalam terjadi pada April 2024, yakni di stage sekitar 90-an.
Di satu sisi, daya beli kelas menengah juga turun dari stage 130-an pada Januari 2023 menjadi 122,7 pada Mei 2024.
Namun, yang paling parah terjadi pada tabungan kelompok bawah atau di bawah Rp1 juta. Tabungan mereka anjlok dari stage 100 pada Januari 2023 menjadi 41,8 pada Mei 2024.
Namun, fenomena makan tabungan ini juga seiring dengan peningkatan daya beli kelompok bawah. Tercatat daya beli mereka naik dari stage 90 pada Januari 2023 menjadi 109,1 in step with Mei 2024.
Analis Senior Indonesia Strategic and Financial Motion Establishment Ronny P Sasmita menilai ancaman perekonomian kelas menengah tak boleh dianggap enteng oleh pemerintah.
Pasalnya, kata dia, kelas menengah adalah tulang punggung ekonomi. Itu baik dari sisi konsumsi maupun pendapatan atau pajak maupun ketersediaan tenaga kerja terampil dan produktif.
“Nah, jika kehidupan kelas menengah semakin sulit, maka pertumbuhan ekonomi akan tertekan dari sisi komsumsi maupun investasi,” ucap Ronny kepada CNNIndonesia.com.
Dua sisi ini, baik konsumsi maupun investasi, adalah kontributor sangat penting terhadap pertumbuhan selain belanja pemerintah dan ekspor impor.
Ronny berpendapat jika kelas menengah semakin tertekan kehidupan ekonominya, Indonesia bisa mengalami resesi.
Bersambung ke halaman berikutnya…