Dalih Pemerintah soal Penurunan Jumlah Kelas Menengah Belakangan Ini
Fenomena menurunnya porsi kelas menengah dalam menopang perekonomian Indonesia perlu mendapat perhatian pemerintah.
Dalam laporan Global Financial institution bertajuk ‘Aspiring Indonesia-Increasing the Heart Elegance’ kelas menengah adalah mereka yang memiliki pengeluaran sebesar Rp1,2 juta hingga Rp6 juta according to bulan according to kapita.
Sementara, mereka yang memiliki pengeluaran Rp532 ribu hingga Rp1,2 juta according to bulan according to kapita tergolong sebagai kelompok calon kelas menengah (aspiring center elegance/AMF) dan masyarakat dengan pengeluaran Rp354 ribu hingga Rp532 ribu according to bulan according to kapita masuk dalam kelas rentan.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengakui persentase kelas menengah di Indonesia menurun. Namun, ia berpendapat penurunan tak drastis sebab kebanyakan dari mereka beralih profesi jadi pekerja mandiri yang jumlahnya belum terdata.
“Information kita median kita untuk kelas menengah emang turun mediannya,” kata dia di Jakarta, Selasa (30/7).
Menurut Suharso, warisan pola kerja work at home (WFH) saat pandemi covid-19 menjadi salah satu faktor menurunnya kelas menengah. Ia mencontohkan ada anak muda yang memilih jadi freelancer di perusahaan asing karena pekerjaanya bisa dijalankan jarak jauh.
“Nah, mereka (kelas menengah) ini kemudian keluar dari perusahaan-perusahaan konstruksi kita dan sebagainya. Nah, ini kita belum punya knowledge ini,” ucap Suharso.
Ia pun mengutip knowledge Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut jumlah kelas menengah menyusut menjadi di bawah 20 persen. Oleh karena itu, pemerintah pun akan meneliti lebih lanjut terkait ke mana larinya kelas menengah tersebut.
“Itu kami sedang cari ke mana mereka. Jadi, ini nggak teregister saja,” katanya.
Klaim Suharso cukup masuk akal, BPS mencatat jumlah pekerja sektor casual cukup tinggi. According to Februari 2024, 59,17 persen pekerja bekerja di sektor casual, sedangkan 40,83 persen bekerja di sektor formal. Jumlah ini turun tipis dari 2023 yakni 60,12 persen pekerja casual dan 39,88 persen pekerja formal.
Sementara pada 2022, pekerja casual tercatat 59,97 persen dan pekerja formal 40,03 persen. Pada 2021, pekerja casual 59,62 persen dan pekerja formal 40,38 persen.
Suharso lantas menilai kelas menengah tak turun kelas jadi miskin. Pasalnya, ia mengklaim jumlah masyarakat miskin turun meski ia tak merinci berapa penurunannya.
Berdasarkan knowledge BPS, persentase penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 9,03 persen atau 25,22 juta orang. Jumlah ini menurun 0,33 persen poin atau 0,68 juta orang terhadap Maret 2023 dan menurun 0,54 persen poin atau 1,14 juta perseb terhadap September 2022.
Dengan berbagai tantangan ekonomi yang dihadapi, jumlah kelas menengah di Indonesia pun mengalami tren penurunan. Fakta ini sesuai dengan knowledge Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS yang diolah oleh Financial institution Mandiri dalam Day by day Financial and Marketplace (Juli 2024).
Lihat saja, proporsi kelas menengah pada struktur penduduk Indonesia pada 2023 cuma 17,44 persen. Jumlah ini anjlok dari proporsi pada 2019 yang mencapai 21,45 persen.
Penurunan jumlah kelas menengah ini berbanding terbalik dengan kelompok rentan. Dalam periode yang sama jumlah kelompok rentan malah meningkat. Tercatat jumlah masyarakat rentan naik dari 68,76 persen pada 2019 menjadi 72,75 persen pada 2023.
Alarm Krisis Ekonomi RI Berdering dari Konsumsi Masyarakat
Alarm krisis untuk ekonomi RI tak berasal dari daya beli kelas menengah yang terkikis saja. Tapi dari seluruh lapisan masyarakat.
Gejala itu terlihat dari deflasi yang terjadi selama tiga bulan berturut-turut. BPS mencatat deflasi sebesar 0,18 persen pada Juli 2024 dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm). Sedangkan secara tahunan tercatat inflasi 2,13 persen (tahun demi tahun/tahun).
Deflasi pada Mei tercatat sebesar 0,03 persen (mtm). Kelompok penyumbang deflasi terbesar adalah makanan, minuman, dan tembakau dengan deflasi 0,29 persen dan andil 0,08 persen.
Sementara itu, deflasi Juni tercatat 0,08 persen (mtm). Kelompok pengeluaran penyumbang deflasi bulanan terbesar adalah makanan minuman dan tembakau dengan deflasi sebesar 0,49 persen dan memberikan andil deflasi sebesar 0,14 persen.
Ekonom Senior Indef Didik J Rachbini mengungkapkan dampak deflasi yang terjadi di Indonesia selama tiga bulan berturut-turut tersebut.
Menurut Didik, deflasi kedengarannya menguntungkan bagi konsumen karena harga yang lebih rendah. Tetapi ini bisa menjadi alarm.
Ia menilai deflasi ini secara umum merupakan gejala konsumen secara luas tidak bisa mengkonsumsi barang dengan wajar atau setidaknya menunda konsumsinya.
“Deflasi kedengarannya menguntungkan bagi konsumen karena harga yang lebih rendah, tetapi ini merupakan fenomena makro ekonomi di mana ekonomi masyarakat sedang tidak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhannya,” kata Didik.
Ia menuturkan deflasi yang terjadi sekarang dapat menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap perekonomian jika jika pemerintah terlalu percaya diri dengan kebijakan makro dan kebijakan sektor riil saat ini.
Pria yang juga merupakan guru besar Universitas Paramadina itu mengingatkan gejala penurunan konsumsi masyarakat sudah terjadi di depan mata.
Konsumen menunda pembelian untuk mengantisipasi harga yang lebih rendah lagi di masa depan. Sebab, keterbatasan pendapatannya dan banyak yang menganggur.
Tak hanya itu, Didik menyebut dalam aspek peluang pekerjaan, masalah pengangguran lebih berat. Ini tidak bisa diukur secara baik karena fenomena sektor casual sangat banyak.
Menurutnya, bantuan sosial yang sangat besar sebagai jual beli suara politik tidak membantu sama sekali memperbaiki keadaan. Bahkan, mendorong utang semakin besar sebagai beban ekonomi politik yang diwariskan.
Gabungan masalah industri yang berat, pengangguran, dan deflasi karena konsumsi menurun, maka dunia usaha yang dirasakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) semakin berat.
“Saya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Kadin, melihat tidak banyak alternatif kecuali biaya produksi harus dipangkas, yang pada gilirannya memangkas pekerja,” imbuh Didik.
Dalam jangka lebih panjang, bisa terjadi stagnasi atau penurunan upah karena pada keadaan seperti ini pengusaha juga dapat memotong gaji. Secara makro ini selanjutnya mengurangi permintaan secara keseluruhan dalam perekonomian.
Didik pun menilai keadaan ekonomi saat ini akan diwariskan Presiden Jokowi kepada pemerintah selanjutnya.
Ia mengingatkan pemerintah hati-hati terhadap kepala ular resesi bisa menghadang ekonomi Indonesia. Pasalnya, deflasi yang terus-menerus dapat menyebabkan spiral deflasi yang memburuk. Penurunan harga menyebabkan berkurangnya aktivitas ekonomi, yang pada gilirannya menyebabkan harga semakin jatuh.
“Hal ini dapat mengakibatkan resesi yang berkepanjangan. Investasi yang dilakukan dunia usaha tidak akan lebih tinggi, bahkan bisa lebih rendah lagi,” tutur Didik.
Pada gilirannya, dunia usaha akan melakukan koreksi perencanaannya dengan menunda atau membatalkan rencana investasi karena ketidakpastian mengenai pendapatan dan keuntungan di masa depan.
“Lupakan mimpi ekonomi tumbuh 8 persen jika masalah konsumsi rendah ini tidak bisa diatasi dengan pengembangan ekonomi di sektor riil, terutama sektor industri,” tegas Didik.
Bersambung ke halaman berikutnya…