Masyarakat menyatakan kehadiran BPJS Kesehatan cukup membantu. Mereka yang tak berpunya, tak lagi mengalami diskriminasi dari rumah sakit hanya bermodal KTP.

Iwan Fals, Wanti dan Raib Cerita Anak Tiri di RS Berkat BPJS Kesehatan



Jakarta, CNN Indonesia

Saudari cantik datang, mau menanyakan.
Dia menanyakan knowledge si korban.
Dibalas dengan, jeritan kesakitan.
Suster menyarankan, bayar ongkos pengobatan.
Ai sungguh sayang korban tak bawa uang.
Suster cantik ngotot, lalu melotot.
Dan berkata silahkan bapak tunggu di muka.

Itu adalah gambaran pelayanan rumah sakit di Indonesia yang digambarkan Iwan Fals pada zaman dahulu. Melalui lagu berjudul ‘Ambulan Zigzag’ itu, Iwan Fals menggambarkan betapa diskriminatifnya rumah sakit di masa lalu. Suster bertampang manis ke pasien kaya; orang miskin dianaktirikan.

Tapi, itu tak ada lagi kini, setelah technology Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Wanti misalnya merasakan lenyap cerita diskriminasi itu kala suaminya Darmanto ambruk Lebaran 2024 lalu. Saat itu, badan suaminya lemas. Keringat dingin sebesar biji jagung mengalir deras dari tubuhnya. Perempuan yang bekerja sebagai pedagang di Kawasan Menteng itu langsung membawa suaminya ke rumah sakit.

IKLAN

GULIR UNTUK MELANJUTKAN DENGAN KONTEN

Tidak ada pertanyaan dari pihak rumah sakit mengenai apa pekerjaannya, statusnya dan berapa banyak uang yang ia bawa. Padahal saat itu ia cukup acak-acakan karena habis berdagang. Suaminya langsung diperiksa dokter.

Tak lama berselang, dokter memberi tahu; suaminya terkena serangan jantung dan harus pasang ring. derajatberhenti langsung detak jantungnya. Ia sadar biaya pasang ring mahal dan karena itu langsung memastikan diri ke dokter tak sanggup membiayainya.

Tapi, dokter baik hati dengan bertanya, “Ibu punya BPJS?”.

Ia mengatakan suaminya punya Kartu Indonesia Sehat tapi dia tak membawa kartunya. Ia hanya membawa KTP. Saat itu, dokter membawanya langsung ke meja administrasi.

Di sana NIK suaminya yang tertera di KTP dicek. Akhirnya, suaminya dipastikan memang memiliki KIS. Ia  kemudian diminta tanda tangan beberapa berkas. Setelah itu, rumah sakit langsung merujuk suaminya ke Rumah Sakit Jantung Jakarta di Matraman.

Tidak sampai satu hari, suaminya langsung dipasangi ring dan kondisinya membaik. Namun, suaminya masih diharuskan pasang ring lagi beberapa bulan setelahnya.

“Kemarin baru saja pasang lagi, dan berdasar cerita dari teman pasien, pasang ring ternyata biayanya sampai Rp140 juta,” katanya.

Wanti cerita tak mengeluarkan uang untuk pasang ring jantung suaminya, termasuk saat kontrol.

“Bersyukur walau kami peserta gratisan, ternyata pelayanan cepat, kami tak dianaktirikan,” tambahnya.

Segendang sepenarian dengan Wanti, Yudi, warga Sukoharjo, Jawa Tengah mengungkap pengalaman serupa saat ibunya terkena serangan stroke kedua pada 2022 lalu.

Serangan diikuti komplikasi. Gula darahnya tinggi, tekanan darah anjlok. Tak hanya itu, cairan urine juga menumpuk di kandung kemihnya.

Imbas komplikasi itu ibunya demam tinggi, kesadaran menurun drastis dan tidak bisa diajak komunikasi. Ia membawa ibunya ke rumah sakit swasta di Solo Baru.

Begitu sampai di rumah sakit, tanpa banyak tanya ini pengobatan, pembayarannya bagaimana, suster langsung memasang kateter untuk mengeluarkan urine menumpuk yang sudah membuat kandung kemih ibunya mengeras.

“Keluar air urine yang kuning kemerahan bercampur hitam, hampir menangis saya waktu itu,” katanya.

Suster kemudian memintanya ke meja administrasi. Di sana ia ditanya petugas soal pembiayaan. Raut wajah panik saat itu ditampakkan oleh muka Yudi.

Kepanikan rupanya terbaca petugas. Kemudian petugas bertanya kepadanya, apakah ibunya peserta BPJS.

Yudi mengangguk. Tapi dia saat itu tidak membawa kartunya.

“Petugas lalu bertanya, KTP ibu ada, terus saya berikan, dia cek NIK dan ternyata dia bilang cukup KTP saja,” katanya.

Sesudah itu, Yudi diminta tanda tangan berkas. Berkat BPJS Kesehatan, ibunya bisa dirawat di rumah sakit free of charge.

“Padahal di ICU hampir 7 hari, di ruang perawatan 3 hari. Tidak tahu kalau sampai bayar harus habis berapa,” katanya.

Dirut BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan pengalaman Wanti dan Yudi itu sejatinya tak terlepas dari perbaikan berkesinambungan yang dilakukan BPJS Kesehatan.

Perbaikan membuat 273,52 juta peserta BPJS Kesehatan yang 140,7 juta di antaranya berasal dari golongan masyarakat kurang mampu penerima bantuan iuran dilayani rumah sakit dengan baik.

Ia bercerita perbaikan itu tidak terjadi dengan sendirinya. Waktu masuk ke BPJS Kesehatan pada 2021 lalu, ia langsung melaksanakan Program BPJS Mendengar untuk mencari tahu masalah yang mewarnai pelaksanaan Program JKN baik dari peserta maupun rumah sakit supaya ke depan kualitas layananmakin baik.

Dari program itu, pihaknya ternyata malah belanja banyak masalah. Dari peserta, masalah terkait banyaknya keluhan pasien BPJS yang merasa dianaktirikan rumah sakit. Keluhan lain, pasien BPJS Kesehatan sering dipulangkan rumah sakit setelah tiga hari dirawat meskipun belum sembuh.

Dari sisi rumah sakit, masalah berkaitan pembayaran tagihan perawatan pasien yang berbelit-belit, lambat dan sering diutang. Knowledge Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), BPJS Kesehatan pernah punya utang ke anggota mereka Rp17 triliun consistent with September 2019 lalu.

Keluhan juga disampaikan rumah sakit terkait kecilnya tarif layanan. Berdasarkan keluhan itu, pihaknya menyusun rencana strategis agar masalah bisa diatasi. Berkaitan dengan utang ke rumah sakit, sedikit demi sedikit diselesaikan.

Memang itu tak mudah. Pasalnya, kondisi keuangan BPJS Kesehatan juga defisit alias sakit. Rinciannya; pada 2015 Rp9,4 triliun, 2016 Rp6,4 triliun, 2017 Rp13,8 triliun, 2018 Rp19,4 triliun, dan 2019 Rp13 triliun.

Defisit dipicu pendapatan iuran tak sebanding dengan klaim yang harus dibayarkan ke rumah sakit. Defisit juga akibat tipuan yang dilakukan rumah sakit sehingga membuat BPJS Kesehatan membayar klaim perawatan yang tak pernah terjadi.

Untuk mengatasi defisit; BPJS Kesehatan kemudian melaksanakan sejumlah strategi. Berkaitan fraud, BPJS Kesehatan menerapkan kewajiban sidik jari bagi pasien yang dirawat demi menutup celah rumah sakit mengajukan klaim fiktif perawatan pasien. Kebijakan lain, melaksanakan program BPJS Siap Membantu (BPJS Satu) dengan menempatkan petugas di setiap rumah sakit mitra guna membantu pasien ketika mengalami masalah pelayanan.

Petugas juga melakukan pengecekan benar tidaknya pasien menggunakan haknya. Dengan cara itu sedikit demi sedikit fraud teratasi sehingga defisit berhasil diselesaikan.

“Setelah tidak defisit, kami bayar utang ke RS. Sekarang kami tidak punya utang ke rumah sakit. Kami beri uang muka ke RS. Pembayaran (tagihan) juga kurang dari 15 hari,” katanya kepada CNNIndonesia, Senin (29/7).

Komitmen memenuhi kewajiban keuangan ini membuat nilai tawar BPJS Kesehatan dan pesertanya di hadapan rumah sakit naik.

Kenaikan itulah dijadikan daya tawar BPJS Kesehatan untuk menuntut rumah sakit meningkatkan kualitas layanan ke peserta, termasuk dengan memudahkan prosedur perawatan dengan hanya memakai KTP.

Dengan daya tawar itu pula, BPJS bisa menerapkan syarat bagi rumah sakit yang ingin menjadi mitra. Salah satu syarat; mau diakreditasi.

BPJS Kesehatan memiliki 6 lembaga untuk melakukan akreditasi terhadap rumah sakit tersebut. Selain akreditasi, BPJS juga melakukan rekredensialing dengan meminta komitmen rumah meningkatkan mutu dan memudahkan layanan ke masyarakat.

“Komitmen meningkatkan mutu antara lain, mau tidak melayani masyarakat cukup memakai KTP saja, kalau mau boleh kerja sama, boleh tidak masyarakat menjadi pengungkap pelanggaranmelaporkan bila ada masalah pelayanan maupun kecurangan,” katanya.

Tak hanya memberlakukan syarat, agar rumah sakit semangat melayani pasien, BPJS Kesehatan pun memberikan insentif. Bagi rumah sakit yang menjaga mutu layanan; mereka akan diberi uang muka (DP) tagihan 60 persen.

Kebijakan itu yang membuat pelayanan BPJS Kesehatan terus membaik.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *